Medan I Tribuneindonesia.com
Nama Hotben Siregar kembali mencuat. Meski berstatus sebagai salah satu dari enam tersangka kasus pengerusakan secara bersama-sama, Hotben hingga kini belum juga ditahan. Ironisnya, pria yang dikenal publik karena ulahnya ini kembali diduga terlibat dalam perkara hukum—kali ini membekingi pendeta berinisial AM yang menguasai secara paksa lahan dan bangunan milik Milva Riosa Siregar.
Insiden itu terjadi pada Jumat (25/4/2025) di Jalan Setia Budi, Gang Rahmad No. 7, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang. Guntur Marbun, suami Milva, berinisiatif untuk merobohkan tembok yang berdiri di atas lahan milik istrinya yang telah sah secara hukum. Namun, sebelum tembok itu roboh, para pekerja justru diserang dari balik tembok dengan lemparan batu.
Tak berselang lama, Hotben Siregar muncul bak superhero dari balik tembok. Ia bukan datang untuk menenangkan situasi, melainkan memperkeruh suasana. “Ini bukan urusan kau ini… Sudah ada putusan pengadilan, tapi ini bukan urusan kau!” teriaknya lantang kepada Guntur.
Pernyataan tersebut seolah menjadi ironi. Bagaimana mungkin seseorang yang bukan pihak dalam perkara hukum merasa berwenang menghalangi proses eksekusi atas lahan yang telah diputuskan pengadilan? Siapa sebenarnya yang dibela Hotben? Dan mengapa aparat hukum tampak lamban bertindak terhadap orang yang sudah berstatus tersangka?
Guntur Marbun, suami Milva Riosa Siregar, mengaku kecewa sekaligus geram atas kejadian tersebut. Ia menilai tindakan oknum yang menghalangi proses eksekusi adalah bentuk nyata pelecehan terhadap hukum.
“Saya hanya menegakkan hak kami berdasarkan putusan pengadilan yang sah. Tapi malah kami diserang, diintimidasi. Yang lebih aneh lagi, si Hotben Siregar sudah ditetapkan sebagai tersangka, bukannya ditangkap malah dibiarkan ikut campur dan membela pihak yang jelas-jelas kalah di pengadilan,” ujar Guntur.
Ia juga mempertanyakan sikap aparat penegak hukum yang dinilainya terlalu lunak terhadap para pelanggar hukum yang punya “nama besar” atau koneksi.
“Kalau kami yang rakyat biasa, cepat kali diproses. Tapi kalau yang sudah dikenal punya ‘bekingan’, hukum seolah mandul. Ini kan memalukan. Kami minta keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Yang lebih mengejutkan, keenam tersangka dalam kasus ini, termasuk Hotben Siregar, tidak ditangkap oleh Kompol Bambang G. Hutabarat, SH, MH, Kapolsek Sunggal meski berada tepat di hadapannya. Bahkan, di hadapan Kapolsek, Pendeta AM dengan lantang berkata, “Macam tidak berkawan aja,”—sebuah pernyataan yang memunculkan dugaan adanya relasi dekat antara aparat dan pihak pelanggar hukum.
Sementara itu, tiga orang tukang yang bekerja untuk Guntur, pemilik sah lahan tersebut, justru diamankan oleh Kapolsek Sunggal dan dibawa ke Polrestabes Medan. Kejadian ini memicu pertanyaan besar dari masyarakat soal objektivitas dan integritas aparat penegak hukum.
Tak lama setelah kericuhan, Wakapolsek Sunggal sempat memediasi kedua belah pihak. Dalam mediasi tersebut ditegaskan bahwa berdasarkan putusan pengadilan, pihak yang menguasai lahan secara tidak sah diminta untuk segera angkat kaki secara sukarela.
Namun fakta di lapangan berkata lain. Oknum pendeta AM masih bertahan, dan Hotben Siregar masih bebas berkeliaran—seolah hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pertanyaannya, sampai kapan aparat penegak hukum membiarkan ketidakadilan ini? Apakah seseorang bisa kebal hukum hanya karena punya “koneksi” dan berani bersuara lantang di lokasi konflik?
Masyarakat kini bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya cara kerja kepolisian, khususnya Kapolsek Sunggal, dalam menangani konflik yang melibatkan pihak berpengaruh?
Hingga berita ini diterbitkan, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, SIK, SH, M.Hum belum memberikan komentar terkait keterlibatan Hotben Siregar maupun proses hukum terhadap pendeta AM.
TambunPos.com juga berupaya meminta klarifikasi kepada Kapolsek Sunggal Kompol Bambang G. Hutabarat, SH, MH terkait keberadaan Hotben Siregar di lokasi, tidak dilakukannya penangkapan, serta diamankannya tiga tukang pekerja. Namun hingga berita ini dipublikasikan, Kapolsek memilih irit bicara.
Sikap enggan memberi penjelasan ini justru menambah keresahan publik yang menuntut transparansi penuh dari aparat penegak hukum.(***)