Oleh : Chaidir Toweren ( Seniman Politik Lokal)
TribuneIndonesia.com
Kaesang Pangarep kembali terpilih sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan perolehan suara sebesar 62 persen dalam pemilihan internal partai. Kemenangan ini tentu menjadi angin segar bagi sebagian kader, namun di saat yang sama juga merupakan sinyal peringatan: ada sekitar 37 persen suara yang tidak memilih atau tidak mendukung Kaesang untuk kembali memimpin PSI.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah pesan politik yang dalam: bahwa masih ada suara kritis di internal PSI yang belum terwakili atau belum merasa yakin dengan arah kepemimpinan saat ini. Maka, pekerjaan rumah Kaesang tidaklah ringan. Ia harus bekerja lebih ekstra untuk menyatukan kembali 100 persen dukungan dari internal partai, suatu hal yang mutlak bila PSI ingin tumbuh sebagai kekuatan politik yang solid, visioner, dan tahan uji.
Salah satu hal mendesak yang perlu segera dievaluasi adalah efektivitas kepengurusan daerah, khususnya di Provinsi Aceh. Sebelum Pemilu 2024, nama PSI sempat menggema luas di Tanah Rencong. Namun apa yang terjadi kemudian justru mencoreng semangat awal tersebut. Pergantian kepengurusan yang dilakukan secara sepihak menyebabkan gejolak internal yang serius, bahkan berdampak pada minimnya calon legislatif yang diusung PSI di Aceh.
Yang lebih memprihatinkan, dalam kurun waktu satu tahun, Surat Keputusan (SK) kepengurusan PSI Aceh dikabarkan berganti hingga tiga kali. Fenomena ini tentu mengundang tanda tanya besar. Apakah struktur partai di daerah dikelola dengan prinsip profesionalisme dan kaderisasi, atau hanya menjadi alat kompromi politik sesaat? Jika SK bisa diubah seperti membalik telapak tangan, maka nilai-nilai solidaritas dan integritas yang diusung PSI menjadi kehilangan maknanya.
Ini menjadi catatan serius bagi Kaesang sebagai ketua umum yang kembali mendapat amanah. PSI tidak akan besar hanya dengan gimik atau pencitraan di media sosial. PSI hanya bisa tumbuh jika partai ini benar-benar berakar di bawah, memiliki struktur yang solid, dan tidak mudah diobrak-abrik oleh kepentingan pribadi.
Aceh adalah salah satu cerminan kegagalan manajemen organisasi partai di daerah. Namun dari kegagalan itu pula, PSI bisa belajar. Jika ingin menjadi partai yang relevan dan dipercaya publik, maka harus dimulai dari perbaikan internal yang sungguh-sungguh, dari Jakarta hingga ke pelosok daerah.
Kaesang masih punya waktu untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar simbol, tapi pemimpin sejati. Dan itu dimulai dengan keberanian melakukan evaluasi menyeluruh, terutama terhadap pengurus daerah yang gagal mendongkrak elektabilitas partai.
















