Tekengon | TribuneIndonesia.com
Aroma busuk praktik mafia tanah kembali menyeruak di Aceh Tengah. Nama Ismail mencuat setelah berani merampas tanah warga sekaligus menjual aset negara berupa sepadan sungai dan badan sungai. Ironisnya, Ismail bukanlah orang baru dalam perkara ini.
Pada tahun 2002, ia pernah kalah di pengadilan dan menandatangani surat kesepakatan perdamaian di hadapan Kapolres, pasukan Kostrad, dan Siliwangi. Saat itu, ia mengakui kesalahan, meminta maaf, serta berjanji tidak akan mengulanginya. Namun, janji tinggal janji.
Kembali Berulah di 2019
Setelah belasan tahun, tepatnya pada 2019, Ismail kembali berulah. Ia secara terang-terangan menjual tanah yang pernah disengketakan itu kepada seorang bernama Syahru Winniko. Parahnya, tanah yang dijual tidak hanya hasil rampasan dari warga, tetapi juga mencaplok aset negara berupa sepadan sungai dan badan sungai. yang menurut aturan agraria jelas tidak boleh dimiliki apalagi diperjualbelikan.
Pemilik Sah Bersuara: “Tanah Kami Dijual Tanpa Sepengetahuan”
Saat tim media menelusuri lebih jauh, para pemilik sah angkat bicara. Mereka menyatakan tidak pernah memberi kuasa kepada Ismail untuk menjual tanah mereka.
- Makmun menunjukkan akta hibah.
- M. Japar mengeluarkan sertifikat asli.
- Rosdiana menampilkan akta hibah.
- Sawaluddin memperlihatkan akta jual beli.
Keempat pemilik itu kompak menunjukkan dokumen resmi kepemilikan tanah di depan awak media. “Kami tidak pernah menjual tanah kami. Tiba-tiba sudah berpindah tangan. Bagaimana mungkin tanah dengan bukti sah yang kami pegang bisa ditumpang-tindihkan dengan surat lain?” ungkap salah satu pemilik dengan nada geram.
Skandal Surat Palsu dan Saksi Bermasalah
Dugaan permainan kotor semakin kuat setelah ditemukan bukti surat jual beli tanah rampasan dan sepadan sungai. Sesuai aturan, pembuatan surat jual beli serta pengukuran tanah wajib melibatkan aparatur pemerintah kampung. Namun, tidak ada seorang pun pejabat desa yang terlibat, kecuali Reje Kampung Sukriadi. Padahal, ia mengetahui siapa pemilik sah tanah tersebut.
Lebih janggal lagi, saksi dalam dokumen jual beli justru berasal dari keluarga dekat Ismail:
- M. Sirwani, abang kandung Ismail.
- Julkarnaen, sepupu Ismail.
- Ermawati, istri sah Ismail.
Keterlibatan keluarga dekat dalam transaksi yang seharusnya netral jelas melanggar aturan dan mengindikasikan praktik rekayasa hukum.
Warga Bertanya: Ada Kesepakatan Gelap?
Keterlibatan Reje Kampung Sukriadi dalam menandatangani surat jual beli penuh kejanggalan menimbulkan pertanyaan besar. Apakah ada kesepakatan gelap antara Sukriadi dan Ismail? Mengapa pejabat kampung ikut melegitimasi praktik mafia tanah yang merugikan warganya sendiri?
Seorang warga Dusun Mas, Batu Lintang, mengaku khawatir kasus serupa akan berulang. “Kalau tindakan Ismail ini dibiarkan, bukan tidak mungkin warga lain jadi korban. Kami berharap aparat penegak hukum segera turun tangan agar mafia tanah tidak terus merajalela,” tegasnya.
Menjual Negara, Bukan Sekadar Tanah
Kasus ini bukan sekadar sengketa antarindividu, tetapi sudah menyentuh tindakan melawan hukum negara. Menjual tanah warga dengan surat tumpang tindih adalah kejahatan. Namun, menjual sepadan sungai dan badan sungai merupakan pelanggaran berat yang jelas melanggar Undang-Undang Agraria.
Jika aparat penegak hukum (APH) tidak segera bertindak, ulah Ismail bisa menjadi preseden buruk: aset negara berpindah tangan hanya dengan selembar kertas rekayasa. (#)