Penulis: Ilham Gondrong
Tribuneindonesia.com
Dalam dunia literasi, karya tulis bukan sekadar rangkaian huruf atau untaian kalimat. Ia adalah napas jiwa, jerih payah, dan curahan emosi penulis yang dituangkan lewat jemari yang tak kenal lelah. Setiap kata yang tertulis mengandung makna, setiap kalimat menyimpan cerita, dan setiap paragraf adalah cermin dari perjalanan batin sang pencipta.
Namun betapa menyakitkannya ketika karya yang lahir dari peluh dan pikiran dicuri begitu saja, diklaim oleh mereka yang tak pernah merasakan pedihnya mencipta. Inilah kisah pilu tentang penipu di balik pencurian karya, tentang wajah tak bermoral yang bersembunyi di balik topeng pencapaian palsu.
Ketika Karya Dijadikan Komoditas Kepentingan
Banyak orang menulis. Namun tidak semua penulis menulis dengan hati. Penulis sejati tahu betapa sulitnya melahirkan satu tulisan yang bernyawa. Ia menunggu ilham, merangkai diksi, menimbang makna, hingga akhirnya melahirkan karya yang layak disebut seni.
Sayangnya, di tengah semangat literasi yang seharusnya dirayakan, muncul sosok-sosok tak bertanggung jawab yang tega mencuri karya orang lain. Mereka tidak menulis, mereka tidak berkarya, mereka hanya pandai mencomot dan mengklaim. Bahkan lebih keji lagi, mereka menggunakan karya curian itu untuk kepentingan pribadi, demi mendapatkan perhatian, pujian, bahkan keuntungan materi dari pihak-pihak tertentu.
Sang Penipu Pandai Bermain Peran
Lebih parah lagi, penipu ini bukan sekadar diam. Ia aktif menunjukkan karya curian itu kepada para pemimpin pemerintahan, pejabat publik, tokoh masyarakat, dan orang-orang berpengaruh lainnya. Dengan wajah meyakinkan dan kata-kata manis, ia berkata:
“Ini tulisan saya, sudah saya rilis. Mana janji mahar Anda?”
Sungguh menyedihkan, sebab banyak dari para pemimpin itu percaya begitu saja, tanpa melakukan verifikasi atau memastikan keaslian karya tersebut. Mereka pun memberikan “mahar” atau penghargaan kepada sang penipu, padahal penghargaan itu seharusnya menjadi hak si penulis asli yang karyanya telah dicuri dan dikomersialkan.
Kemunafikan dan Kemampuan Berkamuflase
Sang penipu biasanya pandai bersandiwara. Ia pandai berpakaian rapi, pandai bersilat lidah, pandai mendekati orang-orang penting. Ia akan menyusup ke lingkungan yang bisa memberinya keuntungan. Ia tidak menulis satu pun karya orisinal, tapi ia dikenal sebagai “penulis hebat” hanya karena keberaniannya mengklaim tulisan orang lain.
Ia bahkan tak segan menghapus nama penulis asli dan menggantinya dengan namanya sendiri. Ironisnya, sistem dan masyarakat yang kurang peka membuatnya leluasa bergerak. Ketika para pemimpin terlalu sibuk untuk memverifikasi dan hanya melihat permukaan, sang penipu menikmati buah manis dari tindakannya.
Luka Batin Sang Penulis Asli
Sementara itu, penulis asli hanya bisa menatap nanar. Ia yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya, kini harus menelan pahitnya pengkhianatan. Hasil jerih payahnya dimanfaatkan oleh orang lain. Namanya dihapus, karyanya dicuri, penghargaannya diambil.
Ia menangis bukan karena tak dihargai, tapi karena nilai kejujuran telah mati. Ia kecewa bukan karena tidak diberi mahar, tapi karena kebenaran dikalahkan oleh topeng kemunafikan.
Bagi penulis sejati, karyanya adalah harga diri. Ketika itu dicuri, rasanya seperti direbutkan sebagian jiwanya.
Literasi yang Harus Dijaga dari Para Serigala
Fenomena ini bukan sekadar soal pencurian karya tulis. Ini adalah penghancuran integritas dunia literasi. Jika dibiarkan, akan lahir generasi yang tak menghargai proses, hanya peduli hasil. Jika terus terjadi, kejujuran akan menjadi langka, dan dunia kepenulisan akan dikuasai oleh mereka yang pandai menipu, bukan oleh mereka yang tulus berkarya.
Sudah saatnya kita semua, terutama para pemimpin dan tokoh masyarakat, lebih bijak dan cerdas dalam menilai karya. Lakukan verifikasi. Tanyakan proses kreatifnya. Telusuri jejak tulisannya. Jangan mudah percaya hanya karena seseorang membawa selembar kertas dan berkata, “Ini karya saya.”
Seruan untuk Bangkit
Bagi para penulis, jangan pernah takut. Karya kalian punya ruh yang tak bisa dipalsukan. Teruslah menulis. Suatu saat, kebenaran akan menemukan jalannya. Jangan biarkan semangatmu mati hanya karena satu atau dua pencuri. Biarlah mereka menikmati pujian semu, tapi yakinlah bahwa yang abadi adalah karya yang lahir dari hati.
Untuk para pencuri karya, sadarilah bahwa apa yang kalian lakukan bukan hanya mencuri, tapi merampas harapan dan kejujuran. Tidak ada kebanggaan dari karya curian. Tidak ada harga diri dari pujian palsu. Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap, dan kalian akan dikenang bukan sebagai penulis, tapi sebagai penipu berkedok penulis.
Dan kepada masyarakat luas, mari kita dukung para penulis asli. Sebarkan karya mereka. Hargai proses mereka. Laporkan jika melihat plagiat. Literasi adalah milik kita bersama, dan kita semua punya tanggung jawab menjaganya.
Sebuah karya tulis adalah saksi bisu dari perjuangan intelektual. Jangan biarkan ia ternoda oleh tangan-tangan kotor yang tak tahu malu. Mari kita lawan kebohongan dengan kebenaran, melawan pencurian dengan keberanian, dan menegakkan literasi dengan kejujuran.
Karena sejatinya, pena yang jujur lebih tajam dari seribu pedang, dan kebenaran tak akan pernah bisa dikubur selamanya.
Ilham TribuneIndonesia.com















