Deli Serdang | Tribuneindonesia.co
Ketegangan memuncak di ruang Komisi II DPRD Kabupaten Deli Serdang pada Rabu, 28 Mei 2025. Di balik pintu-pintu tebal gedung dewan, suara rakyat dari Desa Suka Makmur menggema keras,
amarah yang telah lama terpendam akhirnya meledak dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Lintas Komisi I dan IV DPRD.
Sengketa tanah antara masyarakat Desa Suka Makmur dan raksasa korporasi PT. Serdang Hulu berubah menjadi pertarungan penuh gejolak antara suara rakyat dan kekuatan modal. Di hadapan para legislator, masyarakat menyuarakan jeritan mereka atas penguasaan kawasan hutan secara sepihak, yang diduga dilakukan perusahaan dan berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.
“Bayar pajak sesuai luas tanahnya! Jangan serakah atas tanah rakyat!” tegas Kepala Desa Suka Makmur, suaranya bergetar namun penuh keberanian.
Dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD, Merry Alfrida Br Sitepu, SH., MKn (Fraksi Partai Demokrat), bersama anggota DPRD lintas fraksi seperti Muhammad Dahnil Ginting (Gerindra), Suriani (Gerindra), Marim Sitepu (Gerindra), dan Dr. Mhd Hasan Elkholqiyah (PKB), rapat ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah medan benturan antara fakta dan kekuasaan, antara hak dan penindasan.
Ketua Komisi I menyoroti keharusan mendesak untuk memetakan ulang wilayah konflik—terutama memastikan apakah lokasi tersebut benar berada di kawasan hutan, serta memastikan batas wilayah Kabupaten Deli Serdang dan Langkat, yang selama ini menjadi kabut dalam konflik panjang ini.
“Kita tidak boleh membiarkan rakyat terombang-ambing dalam ketidakjelasan. Kami minta ATR/BPN segera tunjukkan batas wilayah yang sah!” ujar Merry Sitepu dengan nada penuh tekanan.
Namun, seiring waktu berjalan, jawaban tak kunjung jelas. Data yang ditunggu-tunggu dari ATR/BPN belum disajikan. Maka, rapat pun ditunda. Tapi penundaan ini tidak menyurutkan bara yang telah menyala. Sebaliknya, api perlawanan rakyat Suka Makmur semakin membara.
Mereka tidak pulang dengan tenang. Mereka pulang dengan tekad.
Rapat ini mungkin tertunda, tetapi pertempuran atas tanah ini baru saja dimulai. DPRD kini berada dalam sorotan—akankah mereka benar-benar menjadi wakil rakyat, atau hanyalah penonton diam dalam drama panjang ketidakadilan?
“Tanah adalah nyawa bagi kami,” kata salah satu warga dengan suara bergetar. Dan ketika nyawa diambil paksa, rakyat tidak akan diam.
Ilham Tribuneindonesia.com