Jakarta | TribuneIndonesia.com
Gelombang kemarahan rakyat akhirnya memaksa Presiden Prabowo Subianto dan para pimpinan partai politik di Parlemen mengambil langkah drastis. Pemerintah sepakat mencabut tunjangan jumbo anggota DPR RI yang selama ini dianggap menginjak harga diri masyarakat kecil dan memicu kecemburuan sosial.
Isu gaji dan tunjangan fantastis anggota DPR mencuat setelah legislator PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, blak-blakan mengaku menerima take home pay lebih dari Rp100 juta per bulan. Ia bahkan menyebut setiap anggota DPR rata-rata “bergaji” Rp3 juta per hari, ditambah tunjangan rumah mencapai Rp50 juta per bulan.
Pernyataan Hasanuddin sontak memicu kemarahan publik. Perbandingan gaji wakil rakyat dengan buruh yang hidup dengan UMP hanya Rp5,3 juta per bulan di Jakarta dianggap sebagai bukti kesenjangan yang kian menganga. Apalagi, sehari sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, justru mengeluhkan sulit mencari uang halal sebagai politikus.
Puncak amarah rakyat meledak saat sejumlah anggota DPR kedapatan berjoget di Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025. Aksi itu dinilai menyinggung perasaan masyarakat yang tengah bergelut dengan kesulitan ekonomi. Namun, bukannya meminta maaf, beberapa legislator malah menyebut rakyat “tolol” karena menyamakan kehidupan mereka dengan rakyat biasa.
Gelombang protes pun membesar. Demonstrasi berlangsung maraton dari Senin (25/8) hingga Sabtu (30/8) di berbagai daerah. Sayang, tak satu pun anggota DPR hadir menemui massa. Situasi kian panas setelah seorang driver ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus malam di Jakarta Pusat.
Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo menegaskan akan dilakukan pencabutan sejumlah fasilitas DPR RI, termasuk moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. “Kita mendengar suara rakyat. DPR akan melakukan koreksi atas kebijakan tunjangan, dan beberapa fasilitas dihentikan,” tegasnya di Istana Merdeka, Minggu (31/8).
Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut memberikan klarifikasi. Menurutnya, penentuan gaji dan tunjangan DPR bukan “selera pribadi”, melainkan melibatkan DPR, DPD, hingga partisipasi masyarakat. Namun, pernyataan itu tak meredakan amarah publik, apalagi setelah rumahnya di Jakarta dijarah oleh kelompok tak dikenal pada 31 Agustus dini hari.
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai momentum ini harus dijadikan pintu masuk reformasi fiskal. Ia mencontohkan Inggris yang pasca-skandal parlemen 2009 membentuk Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) untuk mengatur standar gaji anggota parlemen. “Indonesia butuh komisi independen agar penentuan gaji DPR adil, transparan, dan tidak berdasarkan kepentingan internal,” kata Andri, Selasa (2/9).
Menurutnya, standar gaji DPR seharusnya disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Ia menyinggung tunjangan rumah Rp50 juta per bulan yang seharusnya bisa diukur lewat garis kemiskinan Jakarta, yakni Rp852.768 per kapita per bulan. “Jika mengikuti data BPS, mestinya tunjangan rumah DPR hanya sekitar Rp77 ribu per anggota keluarga. Bahkan dengan standar Survei Biaya Hidup, pengeluaran perumahan di Jakarta rata-rata Rp3,2 juta per bulan, jauh di bawah angka Rp50 juta,” tegasnya.
Kini, publik menunggu apakah langkah pencabutan tunjangan DPR benar-benar diwujudkan atau sekadar manuver politik untuk meredam amarah rakyat. Gelombang demonstrasi yang terus meluas menjadi bukti bahwa kesabaran masyarakat sudah berada di titik nadir. (##)