BANDA ACEH | TribuneIndonesia.com
Aroma tidak sedap kembali menyeruak dari gedung rakyat di Banda Aceh.
Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera “turun gunung” dan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap pengadaan barang dan jasa di Sekretariat DPRA Aceh, yang dinilai tidak transparan dan berpotensi sarat penyimpangan.
Ketua KAKI, Muamar Saputra, dalam keterangannya kepada media di Banda Aceh, Minggu (19/10/2025), mengungkapkan bahwa pengelolaan anggaran pengadaan di Sekretariat DPRA Aceh terindikasi tertutup dan jauh dari asas transparansi publik sebagaimana diatur dalam regulasi sistem pengadaan pemerintah.
Berdasarkan hasil pantauan dan data yang dihimpun pihak KAKI melalui aplikasi Monitoring dan Evaluasi Lokal (AMEL) sebuah platform resmi milik pemerintah Aceh untuk memantau aktivitas belanja daerah diketahui bahwa hanya 26 paket kegiatan pengadaan yang ditayangkan secara terbuka.
“Totalnya hanya sekitar Rp5,97 miliar, sementara total belanja pengadaan di Sekretariat DPRA tahun ini mencapai Rp214 miliar,” ungkap Muamar.
Artinya, hanya sekitar tiga persen dari total nilai pengadaan yang bisa diakses publik, sementara sisanya 97 persen tidak diinput sama sekali ke sistem monitoring publik.
“Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi sudah mengarah pada pelanggaran serius terhadap prinsip keterbukaan dan transparansi dalam tata kelola anggaran publik,” tegasnya.
Muamar menilai, dengan nilai sebesar itu, tertutupnya akses publik terhadap hampir seluruh kegiatan pengadaan di Sekretariat DPRA menimbulkan dugaan kuat adanya praktik mark-up (penggelembungan harga), pengadaan fiktif, dan pengaturan proyek yang tidak sesuai prosedur.
Dalam pernyataannya, KAKI secara tegas meminta KPK untuk turun tangan langsung ke Aceh guna menelusuri lebih jauh dugaan penyimpangan tersebut.
“Sudah saatnya KPK turun gunung. Jangan biarkan aroma busuk pengelolaan anggaran di lembaga legislatif daerah ini dibiarkan tanpa penindakan,” ujar Muamar.
Menurutnya, berbagai temuan dan kejanggalan dari para aktivis antikorupsi di Aceh sudah cukup untuk menjadi bahan awal penyelidikan.
“Kita bukan bicara tuduhan tanpa dasar, tapi berdasarkan data digital resmi dari sistem AMEL milik pemerintah sendiri,” tambahnya.
KAKI menilai, lemahnya pengawasan internal dan tidak adanya keberanian dari aparat pengawas daerah membuat penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa di Sekretariat DPRA semakin terstruktur dan sistematis.
Salah satu contoh mencolok yang disorot oleh KAKI adalah rehabilitasi rumah dinas Ketua DPRA Aceh yang menelan biaya fantastis, yakni Rp4,6 miliar.
“Angka ini sangat tidak masuk akal untuk kategori rehabilitasi ringan. Nilai sebesar itu lebih cocok untuk pembangunan baru,” sindir Muamar.
Ia menambahkan, hingga berita ini diturunkan, pihaknya belum mendapat klarifikasi resmi dari Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRA.
“Nomor WhatsApp beliau aktif, tetapi tidak menjawab saat dikonfirmasi media,” tambahnya.
Muamar menyebut, pola komunikasi yang tertutup ini semakin memperkuat dugaan adanya niat untuk menutupi informasi publik.
“Ini uang rakyat. Mestinya mereka menjelaskan secara terbuka, bukan bersembunyi di balik diam,” ujarnya dengan nada geram.
Dalam aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, setiap satuan kerja wajib menayangkan seluruh paket kegiatan melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) dan aplikasi monitoring publik seperti AMEL agar masyarakat bisa ikut mengawasi.
Namun yang terjadi di Sekretariat DPRA, menurut KAKI, justru sebaliknya. Hampir seluruh kegiatan besar dikelola secara tertutup, tanpa pelaporan yang bisa diakses publik.
“Padahal DPRA adalah lembaga yang mestinya menjadi simbol keterbukaan dan akuntabilitas,” kritik Muamar.
Ia menilai, praktik ini menjadi contoh buruk bagi lembaga-lembaga daerah lain di Aceh.
“Bagaimana rakyat mau percaya pada lembaga yang bicara pengawasan, tapi rumahnya sendiri gelap gulita dari transparansi?” tanyanya retoris.
Sejumlah aktivis sipil di Banda Aceh juga ikut menyoroti kasus ini.
Chaidir, aktivis dari Patriot Bela Negara (PBN), menilai pengelolaan keuangan di Sekretariat DPRA memang sudah lama menjadi “ruang gelap” yang jarang disentuh pengawasan.
“Publik berhak tahu kemana Rp214 miliar itu dibelanjakan. Kalau hanya 3 persen yang bisa dilihat, sisanya ke mana? Jangan-jangan sudah bocor di jalan,” katanya.
chaidir menilai, desakan KAKI kepada KPK sangat relevan.
“Karena jika dibiarkan, kasus ini hanya akan berputar di lingkaran audit tanpa ujung. KPK harus masuk agar ada efek jera,” ujarnya.
Kasus ini, bila benar adanya penyimpangan, bukan hanya soal hukum, tapi juga soal moralitas politik.
DPRA adalah lembaga yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah Aceh, namun kini justru lembaga pendukungnya diduga bermain dalam proyek yang tidak transparan.
“Ini ibarat penjaga rumah yang justru membuka pintu untuk pencuri,” komentar seorang akademisi ekonomi yang enggan disebutkan namanya.
Ia menilai, reformasi birokrasi di Aceh tidak akan pernah berhasil selama lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif masih bermain dalam pola “proyek gelap” seperti ini.
“Kalau DPR saja tidak transparan, bagaimana mereka bisa mengawasi pemerintah?” ujarnya menohok.
Kini, bola panas berada di tangan KPK. Desakan dari masyarakat sipil, aktivis, dan lembaga antikorupsi lokal seperti KAKI harus menjadi alarm bagi penegak hukum pusat untuk bertindak cepat.
Kasus dugaan penyimpangan di Sekretariat DPRA ini bukan hanya soal angka Rp214 miliar, tetapi soal kepercayaan publik terhadap lembaga wakil rakyat.
Jika KPK benar-benar turun ke Aceh, maka inilah saatnya membuktikan bahwa hukum tidak boleh berhenti di batas gedung parlemen. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar uang rakyat, tetapi marwah dan integritas lembaga legislatif Aceh itu sendiri.















