Gianyar | Tribuneindonesia.com
Pameran foto Alat Bantu Adaptif yang diselenggarakan selama seminggu mulai 2-9 februari 2025, ditutup dengan workshop inspiratif yang mengambil tema ‘Mengenal Artivisme dan Ragam Disabilitas’.
Dalam workshop di hadirkan tiga pembicara diantaranya Dinda Mahadewi, Kresnanta, dan Cok Ima. Artivisme adalah gerakan yang menggunakan seni sebagai alat perjuangan, perlawanan dan perubahan sosial.
Workshop ini membahas bagaimana artivisme mampu membongkar batasan batasan seperti sensorik, fisik, intelektual karena setiap individu memiliki cara unik berinteraksi.
Pameran foto Alat bantu adaptif dari 7 peserta disabilitas ini diharapkan mendapat perhatian pemerintah provinsi Bali terkait dengan bantuan alat bantu adaptif untuk para disabilitas.
Berbagai kegiatan telah di upayakan oleh Gugus Tugas alat bantu adaptif untuk mengedukasi pemerintah dan pemegang kebijakan serta pemegang anggaran terutama Bapedda provinsi Bali untuk menganggarkan Alat Bantu Adaptif di dalam APBD.
Operation Manajer Yayasan Puspadi Bali sekaligus Koordinator Gugus Tugas penyedia alat bantu adaptif kaki palsu dan kursi roda Provinsi Bali, Putu Juliani ,mengatakan, sejak tahun 2021 gugus tugas alat bantu adaptif disabilitas yang beranggotakan 16 organisasi penyandang disabilitas bali dimana Puspadi Bali sebagai koordinatornya telah banyak melakukan berbagai macam usaha advokasi termasuk workshop seminar FGD, simulasi, jalan santai hingga workshop foto.
“Kami juga ikut perayaan hari Disabilitas Internasional di kabupaten Badung, serta perform theater drama bertopik alat bantu adaptifapb, bagaimana supaya mereka (Pemprov Bali) bisa terketuk hatinya untuk berkomitmen agar menganggarkan dan merencanakan alat bantu adaptif di dalam APBD,”kata putu Juli, ditemui dalam penutupan pameran foto adaptif di Annika Liden Centre, minggu (9/2/2025).
Dikatakan Putu Juli, selama ini bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Bali tidak sesuai harapan, dimana bantuan tersebut masih standar dan belum adaptif sehingga sering kali tidak terpakai dan terbuang.
” Kalau kami bilangnya standar itu satu untuk semua padahal alat bantu adaptif itu tidak bisa satu untuk semua, harus melalui proses pengukuran terlebih dahulu supaya alat bantu yang dipakainya itu nyaman untuk mereka,”jelasnya.
Jika APBD masih terbentur birokrasi Ia menyatakan anggaran dari CSR asalkan dananya dari pemerintah karena selama ini anggaran untuk alat bantu adaptif berasal dari non Pemerintah diantaranya dari yayasan Puspadi Bali, YPK serta yayasan lainnya.
Ia menyarankan sebaiknya pemerintah berkoordinasi dengan yayasan atau yang sudah paham tentang implementasi alat bantu yang adaptif sehingga bantuan tersebut tepat guna.