Penulis: Ilham Gondrong
TribuneIndonesia.com
Ikbal, seorang petualang gagah berani, telah menempuh perjalanan panjang dalam hidupnya. Ia berkelana bertahun-tahun, menelusuri berbagai penjuru, bukan hanya mencari jati diri tapi juga mencari tempat di mana hatinya bisa berlabuh. Dalam perjalanannya, waktu dan tahun bukan hanya menjadi teman, tapi juga lawan yang menguji kesabaran dan keteguhan hatinya.
Meski banyak wanita hadir di sepanjang langkahnya, tak satu pun mampu membuka pintu hati Ikbal yang tertutup rapat. Ia menjaga hatinya dengan teguh, seakan menanti satu sosok yang benar-benar layak menjadi tambatan hidupnya.
Hingga akhirnya, di suatu pagi yang sunyi, Ikbal memutuskan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kota. Ia menuju sebuah perkampungan sederhana, jauh dari kebisingan dunia luar. Setibanya di sana, ia terpesona oleh ketenangan alam, nyanyian burung, dan semilir angin yang membawa aroma ketulusan.
Ikbal lalu menemui Romo Ageng, pemangku kampung yang bijaksana, dan meminta izin untuk tinggal sementara di sana. Melihat niat baik Ikbal, Romo Ageng bukan hanya mengizinkan, tapi juga mengajaknya tinggal di rumahnya. Meski sempat menolak karena sungkan, akhirnya Ikbal menerima tawaran itu.
Suatu pagi, saat menikmati embun dan udara segar desa, mata Ikbal terpaku pada sosok wanita muda yang tengah melintas. Ia cantik, anggun, dan memiliki senyum yang menenangkan jiwa. Seketika, hati Ikbal yang selama ini terkunci, terasa tergugah. Sosok itu, seperti memiliki kunci yang selama ini ia cari.
Ikbal pun segera mencari tahu siapa wanita itu. Dari Romo Ageng, ia mengetahui bahwa nama gadis itu adalah Widuri, putri dari Ibu Sri, penduduk kampung sebelah. Seorang gadis baik, lembut, dan selalu menjaga kehormatan keluarganya.
Romo Ageng lalu bertanya, “Nak Ikbal, apakah kau menyukai Widuri?”
Dengan kepala tertunduk, malu-malu namun mantap, Ikbal menjawab,
“Ya, Romo. Baru kali ini aku merasakan hati ini bergetar, terbuka, dan merasa tenang hanya karena melihat senyum dan tutur lembutnya. Saya yakin, dia adalah tambatan hati yang selama ini saya cari.”
Romo Ageng tersenyum bijak, lalu bertanya kembali, “Apakah kau benar-benar yakin ingin menyuntingnya sebagai pendamping hidupmu?”
Tanpa ragu, Ikbal menjawab, “Saya yakin sepenuhnya, Romo.”
Dengan restu itu, keduanya pun berangkat ke kediaman keluarga Widuri. Setibanya di rumah sederhana itu, mereka disambut hangat oleh Ibu Sri.
“Ada apa gerangan Romo Ageng datang kemari?” tanya Ibu Sri penasaran.
Dengan sopan, Romo Ageng menjelaskan bahwa Ikbal ingin melamar Widuri, sebab sejak pertemuan pertama, hati Ikbal telah terpaut padanya.
Senyum tipis menghiasi wajah Ibu Sri. “Ini suatu kehormatan untuk keluarga kami. Tapi tentu, keputusan tetap berada di tangan Widuri.”
Dari balik pintu kamar, Widuri mengintip dengan malu-malu. Tatapan mata mereka bertemu. Sekejap, waktu seakan berhenti. Tak ada kata, hanya pandangan yang saling bicara.
“Ibu hanya ingin tahu, apakah kau juga menyukai Nak Ikbal?” tanya Ibu Sri lembut.
Widuri menunduk sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Ya, Bu. Hati Widuri pun sama… Aku juga ingin bersamanya.”
Dan di saat itulah, dua hati yang lama mencari akhirnya bertemu. Tak lama berselang, mereka melangsungkan pernikahan sederhana namun penuh kebahagiaan. Warga kampung turut bersukacita. Senyum dan doa mengiringi perjalanan baru mereka.
Akhir Sebuah Pencarian, Awal Sebuah Cinta
Perjalanan Ikbal membuktikan bahwa cinta sejati seringkali tak ditemukan di tengah gemerlap dunia, tapi di tempat yang paling sederhana, paling sunyi, namun paling tulus.
Cinta bukan tentang siapa yang tercepat datang, tapi siapa yang sanggup menetap. Dan Ikbal, sang petualang, kini telah pulang bukan hanya secara fisik, tapi juga hati bersama tambatan cinta sejatinya,Widuri.
Cerita ini menjadi cerminan bahwa dalam kesabaran dan pencarian yang tulus, cinta sejati akan menemukan jalannya sendiri.
Ilham TribuneIndonesia.com




 
					






 
						 
						 
						 
						 
						



