Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Ada satu kenyataan hidup yang kerap berulang, namun sering diabaikan: bila kau berharap sepenuhnya pada manusia, maka bersiaplah untuk kecewa. Bukan karena semua manusia buruk, tetapi karena manusia pada dasarnya terbatas—oleh kepentingan, oleh kemampuan, oleh situasi, dan oleh perubahan hati. Sebaliknya, ketika harapan itu diletakkan kepada Allah SWT, di sanalah ketenangan menemukan rumahnya.
Manusia bisa berjanji hari ini dan mengingkari esok hari. Manusia bisa bersumpah setia saat keadaan lapang, lalu menghilang ketika keadaan sempit. Bahkan orang terdekat sekalipun—yang kita kira paling memahami—bisa saja menjadi sumber luka terdalam. Realitas ini bukan untuk menumbuhkan kebencian, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran: manusia bukan tempat menggantungkan harapan tanpa batas.
Kita sering lupa bahwa manusia menolong karena mampu, peduli karena sempat, dan hadir karena kepentingan masih sejalan. Ketika kemampuan habis, waktu menyempit, atau kepentingan berubah, maka bantuan berhenti, kepedulian memudar, dan kehadiran pun menjauh. Di titik inilah kekecewaan lahir. Harapan yang terlalu tinggi kepada makhluk sering berakhir pada luka yang tidak perlu.
Islam sejak awal telah mengajarkan keseimbangan: berikhtiar melalui manusia, tetapi menggantungkan hasil hanya kepada Allah SWT. Allah tidak pernah ingkar janji. Allah tidak terikat oleh situasi dan tidak dibatasi oleh kekuatan apa pun. Ketika semua pintu tertutup, Allah mampu membuka jalan dari arah yang tidak pernah kita duga. Ketika semua orang berpaling, Allah tetap Maha Mendengar.
Berharap kepada Allah bukan berarti pasrah tanpa usaha. Justru sebaliknya, ia adalah puncak dari ikhtiar. Kita bekerja, berjuang, dan berdoa, lalu menyerahkan hasilnya kepada Dzat yang Maha Mengatur. Dengan cara ini, hati menjadi lebih lapang. Jika manusia membantu, kita bersyukur. Jika manusia mengecewakan, kita tidak hancur, karena sandaran utama kita tidak pernah goyah.
Banyak orang jatuh bukan karena kegagalan, melainkan karena menggantungkan harapan pada manusia yang salah. Ketika jabatan diharap menyelamatkan, kekuasaan diharap melindungi, atau relasi diharap menjadi penentu hidup, maka kecewa hanya tinggal menunggu waktu. Jabatan bisa dicabut, kekuasaan bisa runtuh, dan relasi bisa berubah. Namun Allah SWT tetap kekal, tidak berkurang sedikit pun.
Berharap kepada Allah juga mendidik jiwa menjadi lebih ikhlas. Kita tidak lagi sibuk menghitung siapa yang berbuat baik atau siapa yang mengkhianati. Kita sadar bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari ujian dan pelajaran. Kebaikan manusia adalah titipan Allah, dan kekecewaan dari manusia pun adalah cara Allah menguatkan iman kita.
Dalam kehidupan sosial, kita tetap perlu berinteraksi, bekerja sama, dan saling menolong. Tetapi jangan pernah menjadikan manusia sebagai tumpuan akhir. Jadikan mereka sebagai perantara, bukan tujuan. Hati yang terlalu berharap pada manusia akan mudah patah. Sebaliknya, hati yang bergantung kepada Allah akan tetap tegak meski diterpa badai.
Ketika harapan kita lurus kepada Allah SWT, kegagalan tidak lagi terasa sebagai akhir, melainkan sebagai proses. Penolakan tidak lagi menjadi hinaan, melainkan perlindungan. Kehilangan tidak lagi sekadar duka, melainkan jalan menuju hikmah. Semua terasa lebih ringan karena kita yakin, Allah tidak pernah salah dalam memberi dan tidak pernah lalai dalam menjaga.
Maka, bila hari ini engkau kecewa oleh manusia, jangan larut dalam kemarahan. Jadikan itu pengingat lembut dari Allah agar engkau kembali meluruskan sandaran. Berharaplah kepada Allah SWT, karena hanya Dia yang tidak pernah mengecewakan hamba-Nya. Di sanalah ketenangan sejati bermula, dan di sanalah hati menemukan tempat pulang.
















