Sumatra/Tribuneindonesia.com
Bencana banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat kembali memantik perhatian serius komunitas internasional terhadap persoalan klasik yang tak pernah dituntaskan: pembalakan liar (illegal logging) dan kegagalan tata kelola lingkungan di Indonesia. Di tengah penderitaan ribuan warga akibat rumah terendam, mata pencaharian hancur, dan meningkatnya jumlah pengungsi, keputusan pemerintah untuk menolak bantuan internasional justru memperdalam pertanyaan global tentang akuntabilitas dan transparansi negara dalam menangani bencana.

Hujan lebat yang mengguyur wilayah Sumatra sejatinya bukan fenomena baru. Namun, banjir bandang yang berulang dari tahun ke tahun menunjukkan adanya kerusakan struktural pada sistem ekologis. Hutan-hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga alami aliran air dan pengendali erosi kini banyak berubah menjadi kawasan gundul. Daerah aliran sungai kehilangan daya serap, lereng menjadi rapuh, dan air meluap tanpa kendali ke permukiman warga.
Peneliti lingkungan dan organisasi masyarakat sipil menilai bencana ini bukan sekadar musibah alam, melainkan konsekuensi yang dapat diprediksi dari deforestasi masif akibat jaringan illegal logging yang selama bertahun-tahun beroperasi dengan dugaan pembiaran. Pola yang sama terus terulang: hutan di hulu hilang, sungai meluap, dan masyarakat di hilir menanggung kerugian paling besar.
Kesaksian warga menguatkan temuan tersebut. “Hujannya tetap sama seperti dulu,” ujar seorang tokoh masyarakat di wilayah terdampak banjir. “Tetapi hutannya sudah tidak ada lagi. Ketika hutan hilang, air datang tanpa ampun.”
Di tengah skala bencana yang meluas, sikap pemerintah yang menolak bantuan kemanusiaan internasional dengan alasan kedaulatan dan kemampuan domestik menuai kritik tajam. Sejumlah pengamat menilai langkah ini berisiko memperlambat penanganan darurat, sekaligus menutup akses terhadap pemantauan independen dan dukungan teknis internasional yang sangat dibutuhkan, mulai dari manajemen banjir hingga pemulihan lingkungan pascabencana.
Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, secara tegas mengingatkan pemerintah pusat agar tidak mengabaikan akar persoalan bencana. Menurutnya, banjir yang berulang di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat harus dibaca sebagai peringatan keras atas kegagalan negara melindungi lingkungan dan rakyatnya.
“Pemerintah pusat harus jujur melihat fakta di lapangan. Selama praktik illegal logging dibiarkan dan penegakan hukum tidak menyentuh aktor-aktor besar, banjir akan terus berulang dan korban akan terus berjatuhan,” tegas Arizal Mahdi. Ia menilai, penolakan bantuan internasional tanpa diiringi langkah nyata membongkar kejahatan lingkungan justru memperdalam krisis kepercayaan publik dan menimbulkan pertanyaan serius di mata dunia.
Arizal menekankan bahwa keselamatan warga negara harus ditempatkan di atas kepentingan politik dan citra kekuasaan. “Kedaulatan sejati bukan diukur dari menolak bantuan, tetapi dari kemampuan negara melindungi rakyatnya dari bencana yang seharusnya bisa dicegah,” ujarnya.
Bencana banjir di Sumatra juga membawa implikasi global. Hutan Indonesia merupakan salah satu penyerap karbon terpenting dunia. Kerusakannya tidak hanya memicu banjir dan pengungsian, tetapi juga mempercepat krisis iklim lintas batas, yang berdampak langsung pada isu hak asasi manusia, komitmen iklim internasional, dan stabilitas kawasan.
Seiring surutnya air, tekanan terhadap pemerintah untuk melakukan langkah konkret semakin menguat: investigasi transparan terhadap praktik illegal logging, penegakan hukum tanpa pandang bulu, pemulihan daerah aliran sungai, serta kebijakan penanggulangan bencana yang berorientasi pada keselamatan manusia, bukan sekadar narasi politik.
Tragedi yang terjadi di Sumatra hari ini menjadi peringatan keras bagi bangsa dan dunia. Banjir mungkin dipicu oleh hujan, tetapi kehancurannya dibentuk oleh pilihan kebijakan. Apakah negara akan berani menghadapi kejahatan lingkungan dan kegagalan tata kelola yang kini tersingkap, atau membiarkannya terus berlangsung, akan menentukan apakah bencana serupa akan kembali terulang dengan korban yang lebih besar.
















