Takengon | TribuneIndonesia.com
Dugaan raibnya ratusan juta rupiah dana pembangunan Masjid Baitul Ala di Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, kian menuai tanda tanya besar. Dana hasil iuran Aparatur Sipil Negara (ASN) dan anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sejak 2021 hingga 2024 yang ditaksir mencapai ratusan juta rupiah, hingga kini tak jelas rimbanya.
Fakta di lapangan menunjukkan, hanya dari kantong ASN dan PGRI saja dana yang berhasil terkumpul menembus lebih dari Rp100 juta. Jumlah tersebut belum termasuk sumbangan masyarakat dan pihak lain yang diyakini nilainya jauh lebih besar. Ironisnya, pembangunan masjid tak kunjung berlanjut meski dana sudah terkumpul.
Nama Rahmat Syah, Ketua Pembangunan Masjid sekaligus seorang PNS, menjadi sorotan utama. Upaya konfirmasi yang dilakukan awak media melalui sambungan telepon maupun pesan WhatsApp berkali-kali tidak mendapat respons. Rahmat Syah memilih bungkam, menimbulkan kecurigaan adanya hal yang sengaja ditutupi.
Camat Ketol, Iwan, saat dikonfirmasi melalui telepon, menegaskan dirinya tidak terlibat dalam urusan dana tersebut.
“Silakan konfirmasi langsung kepada Pak Rahmat Syah, karena beliau selaku ketua pembangunan masjid. Saya tidak pernah membenarkan pekerjaan yang merugikan orang banyak, apalagi melindungi kejahatan yang dilakukan pihak manapun,” tegasnya.
Sementara itu, sejumlah ASN dan anggota PGRI mengaku enggan lagi mempertanyakan keberadaan dana iuran mereka. Rasa takut muncul karena setiap kali ditanyakan, Rahmat Syah justru disebut-sebut mengeluarkan bahasa kasar bernada ancaman terhadap jabatan maupun pribadi penanya.
“Kami menyumbang bukan untuk uang itu dimakan hantu. Kami mencari rezeki dengan susah payah, niat kami murni untuk kelanjutan pembangunan masjid. Tapi yang kami dapat justru tekanan, bahkan ancaman,” ungkap salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Masyarakat Ketol mendesak aparat penegak hukum segera turun tangan membongkar dugaan penyalahgunaan dana pembangunan masjid tersebut. Mereka khawatir proyek rumah ibadah dijadikan kedok untuk kepentingan pribadi oleh oknum tertentu.
“Kami tidak mau pembangunan masjid dijadikan ladang usaha oleh orang-orang yang bersembunyi di balik nama agama. Sudah saatnya aparat hukum bertindak tegas,” pinta salah seorang warga.
Kini, mata publik tertuju pada aparat penegak hukum. Masyarakat menunggu apakah kasus ini akan benar-benar dituntaskan, atau justru dibiarkan berlarut-larut hingga kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana umat semakin terkoyak.
(Dian Aksara )