Penulis Ilham Gondrong
Tribuneindonesia.com
Dari balik dinding kusam sebuah bangunan tua, tampak seorang pria berkulit hitam manis tengah tenggelam dalam lamunan panjang. Wajahnya datar, seolah tak peduli pada hiruk pikuk dunia luar. Ia larut dalam pikirannya, bermain-main dengan imaji dan kenangan yang mungkin hanya dia yang tahu.
Saat itu, langkah tergesa terdengar menghampiri. Seorang pria bernama Alex muncul, memanggil pria itu dengan nada penuh semangat.
“Romi! Romi!” serunya berulang-ulang.
Namun Romi tetap diam, tak tergoyahkan oleh suara dari dunia nyata. Ia masih betah di dunia sunyinya sendiri. Tak menyerah, Alex terus memanggil hingga akhirnya Romi perlahan beranjak dari tempat duduknya dan menghampirinya.
“Oh, kau rupanya Alex. Ada apa sampai kau mengusik ketenanganku?” tanya Romi datar.
Alex menarik napas dan mulai bicara dengan antusias, “Aku ingin mengenalkanmu pada bos tempatku bekerja. Kalau kau mau, kau bisa ikut. Ada pekerjaan, penghasilan tetap tiap bulan. Mau, Rom?”
Romi diam. Ia memegang janggut tipis di dagunya, berpikir sejenak sebelum menjawab tegas, “Tidak. Aku tak tertarik.”
Alex mencoba membujuk, bahkan merayunya dengan iming-iming kemewahan, kemudahan, dan kekuasaan. Namun Romi tetap teguh. Ia menolak dengan tenang tapi pasti.
“Baiklah,” ucap Alex akhirnya, separuh kesal, separuh menantang. “Suatu saat, ketika kau tak punya jalan lagi, kau akan mencariku. Kau akan datang, bersimpuh dan memohon padaku untuk menolongmu.”
Dengan yakin, Romi menjawab, “Itu tak akan pernah terjadi. Sekalipun dunia runtuh.”
Tahun-tahun pun berlalu. Hidup Romi berubah drastis. Nasibnya kini terpuruk. Ia jadi pribadi yang disisihkan, terbuang dari lingkungan, bahkan nyaris dilupakan. Kelaparan dan kesepian jadi teman setia. Badannya kurus kering, langkahnya tertatih lemah.
Di tengah keterpurukannya, muncul seorang pria tegap dengan pakaian mewah dan aroma tubuh yang wangi. Ia menghampiri Romi, membawa sepotong roti hangat.
“Kau lapar?” tanya pria itu sambil menatap Romi dalam-dalam.
Romi mengangguk, pelan, hampir tak bersuara. “Iya… aku lapar.”
“Ambillah roti ini. Tapi dengan satu syarat: ikut denganku dan temui bosku.”
Tanpa banyak berpikir, Romi mengangguk. Kelaparan telah melumpuhkan logikanya.
Setibanya di sebuah rumah mewah, Romi terkesima. Kristal menggantung di langit-langit, kilauan emas dan furnitur megah menyambut matanya. Di sana, seorang pria kecil berwibawa menyambutnya dengan senyum dingin.
“Hai, pemuda compang-camping. Kau adalah pilihanku. Jika kau setuju bekerja denganku, dunia ini akan kau genggam. Apa pun yang kau inginkan akan menjadi milikmu,” ujar pria itu.
Romi, dalam keputusasaannya, mengangguk setuju.
“Makanlah roti ini,” perintah pria itu, “dan sejak saat itu, kau menjadi milik kami.”
Dan benar, sejak hari itu hidup Romi berubah total. Ia hidup dalam kemewahan. Uang, kuasa, dan popularitas jadi makanan sehari-hari. Tapi bersamaan dengan itu, ia pun tenggelam dalam propaganda, tipu daya, dan dosa. Lapangan kemaksiatan ia buka lebar. Ia jadi dalang pengkhianatan, menyebar luka demi lukahingga akhirnya ia terjerumus ke dalam Lembah Hitam.
Namun, sehebat apa pun kegelapan berkuasa, cahaya kebenaran selalu mencari jalannya. Segala kerusakan yang dibangun di atas dusta, pada akhirnya akan musnah ditelan cahaya kedamaian yang sejati. Kebenaran akan kembali menjadi tiang utama penegak keadilan.
Jangan remehkan hal kecil seperti sepotong roti, karena ketika pondasi nilai dan moral kita lemah, bahkan hal sesederhana itu bisa menghancurkan hidup. Namun bila pondasi kebenaran tertanam kuat dalam diri, bahkan segunung emas pun tak akan bisa menggoyahkan prinsip kita.
Jadilah manusia yang berpihak pada kebenaran. Karena dunia ini penuh jalan pintas, tapi hanya sedikit yang berani tetap berjalan di jalan yang benar
Oleh : Ilham Tribuneindonesia