Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Gelombang perceraian kembali menjadi cermin buram kehidupan sosial di Aceh. Data Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat, sepanjang Januari hingga Juni 2025, sebanyak 2.923 pasangan suami-istri (Pasutri) mengajukan perceraian. Fakta yang mencengangkan ini menyiratkan bahwa institusi pernikahan di Aceh sedang berada dalam kondisi krisis, tak hanya karena konflik internal rumah tangga, namun juga karena pengaruh luar seperti judi online (judol) dan aktivitas Live TikTok yang mulai merusak sendi-sendi keluarga.
Lebih dari 70 persen dari total kasus merupakan cerai gugat. dimana pihak istri menggugat cerai suami. Ini menunjukkan bahwa banyak perempuan yang merasa tidak lagi dapat mempertahankan pernikahan mereka, baik karena ketimpangan tanggung jawab, kehilangan rasa hormat terhadap pasangan, atau akibat perilaku merugikan suami seperti kecanduan judol dan hiburan digital tak sehat.
Mahkamah Syar’iyah mencatat bahwa penyebab utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, yang mencapai 2.447 perkara. Meskipun kasus yang secara eksplisit menyebutkan judi online atau Live TikTok hanya puluhan, keduanya diduga menjadi pemicu awal atau pemantik keretakan yang lebih besar. Aktivitas online yang tidak sehat, di mana seseorang menghabiskan waktu dan uang di dunia maya tanpa kontrol, kerap mengabaikan tanggung jawab sebagai pasangan dan orang tua.
Kecanduan Digital dan Krisis Komunikasi
Perubahan gaya hidup digital yang pesat di Aceh, tanpa diiringi dengan literasi digital yang matang, mengakibatkan masyarakat terjebak dalam kecanduan layar, baik untuk berjudi maupun mencari hiburan dangkal di media sosial. Live TikTok bukan hanya menjadi ladang narsisme, tetapi juga wadah pertunjukan yang kerap melanggar batas norma, menimbulkan kecemburuan dalam rumah tangga, dan memperkeruh suasana yang sudah retak.
Fenomena ini menandakan krisis komunikasi dalam rumah tangga. Pasangan yang tidak mampu membangun ruang dialog yang sehat, pada akhirnya menjadikan ponsel sebagai pelarian dari konflik. Ketika komunikasi tatap muka tergantikan oleh interaksi maya, relasi emosional melemah dan keintiman terkikis. Apalagi jika salah satu pihak menggunakan internet untuk tujuan negatif, maka pernikahan menjadi semakin rapuh.
Peran Pemerintah dan Lembaga Sosial Keagamaan
Tingginya angka perceraian ini tidak bisa hanya diserahkan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk diselesaikan secara hukum. Pemerintah daerah, ulama, dan tokoh masyarakat perlu melakukan refleksi kolektif terhadap pola pendidikan pranikah yang selama ini dijalankan. Apakah cukup kuat membekali pasangan muda untuk menghadapi tantangan pernikahan di era digital?
Selain itu, penting dilakukan intervensi edukatif, seperti bimbingan pernikahan wajib bagi calon pengantin, serta penyuluhan tentang bahaya judi online dan penggunaan media sosial yang tidak sehat. Penyuluhan ini sebaiknya tidak hanya bersifat formalitas, melainkan menjadi program yang membumi, menyentuh lapisan masyarakat akar rumput, terutama di wilayah dengan angka perceraian tinggi seperti Aceh Utara dan Aceh Tamiang.
Pentingnya Pendekatan Komunitas dan Mediasi Sosial
Salah satu kritik dari Mahkamah Syar’iyah adalah bahwa banyak pasangan langsung membawa perkara ke pengadilan, tanpa upaya damai di tingkat keluarga atau desa. Ini mengindikasikan bahwa peran struktur sosial tradisional mulai melemah. Padahal, dalam tradisi Aceh, penyelesaian konflik rumah tangga dulu menjadi domain tokoh adat, imam meunasah, dan tetua gampong yang bijak dalam meredakan api konflik.
Kita membutuhkan revitalisasi lembaga sosial berbasis komunitas, seperti tim mediasi gampong yang dapat menjembatani konflik pasangan sebelum sampai ke ranah hukum. Pendekatan lokal ini bisa lebih mengena secara emosional, sekaligus memperkuat ikatan sosial yang mulai luntur.
Jangan Anggap Remeh Dampaknya
Perceraian bukan hanya putusnya hubungan dua individu, tapi juga patahannya dampak berantai sosial: anak-anak yang tumbuh tanpa figur lengkap orang tua, meningkatnya angka kemiskinan akibat kehilangan nafkah, hingga potensi munculnya generasi baru dengan luka psikologis yang dalam. Ini adalah tanggung jawab sosial bersama.
Pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga, menjadi korban dari ketidakberdayaan dalam rumah tangga. Mereka menggugat cerai karena sudah tidak tahan, bukan karena mencari jalan pintas. Maka perlindungan hukum dan sosial terhadap perempuan dan anak pasca perceraian pun harus diperkuat
Penulis merasa bahwa data 2.923 perceraian bukan sekadar angka. Ia adalah potret retaknya nilai kebersamaan, kegagalan dalam membangun rumah tangga yang berakar pada kasih, serta lemahnya ketahanan keluarga di tengah badai digital dan tekanan ekonomi. Mari kita jadikan ini bukan sebagai bahan gosip, tapi alarm peradaban: saatnya memperkuat keluarga sebelum Aceh kehilangan fondasi sosial terpentingnya.















