Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Wacana pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat ke permukaan. Gagasan ini bukanlah hal baru. Sebelum reformasi, kepala daerah memang dipilih oleh DPRD. Setelah era reformasi, sistem pemilihan kepala daerah berubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sebagai bentuk penguatan demokrasi partisipatoris. Kini, gagasan itu kembali didorong ke panggung nasional. Salah satu alasan utamanya: efisiensi anggaran dan pengurangan praktik politik uang.
Secara konstitusional, pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 18 ayat (4) hanya menyebut bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, tanpa menegaskan harus melalui pemilihan langsung. Bahkan, Menteri Dalam Negeri dan sejumlah legislator menyebutkan bahwa pemilihan melalui DPRD sah secara hukum dan tidak membutuhkan amendemen.
Lalu, apakah ini langkah maju atau justru langkah mundur dalam demokrasi kita?
Antara Biaya Tinggi dan Efektivitas Pemerintahan
Kita tidak bisa memungkiri bahwa Pilkada langsung memang menelan biaya yang sangat besar. Sejak diberlakukan, sistem ini telah menghabiskan triliunan rupiah dari anggaran negara maupun anggaran daerah. Biaya operasional, logistik, keamanan, hingga kampanye, semuanya memerlukan dana besar. Dan dalam praktiknya, biaya besar ini tidak jarang mendorong para calon kepala daerah untuk mencari “investor politik” yang kelak menagih “balas budi” dalam bentuk proyek atau kebijakan setelah sang calon terpilih. Inilah salah satu pintu masuk praktik korupsi dalam pemerintahan daerah.
Selain itu, politik uang dalam Pilkada langsung juga semakin mengakar. Kemenangan sering kali bukan karena kualitas atau program kerja calon, melainkan kekuatan modal yang mereka miliki. Kondisi ini merusak makna demokrasi itu sendiri.
Jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, biaya Pilkada tentu bisa ditekan secara signifikan. Proses menjadi lebih ringkas, cepat, dan terkendali. Politik uang juga, dalam teori, bisa lebih mudah diawasi karena jumlah pemilih (yakni anggota DPRD) terbatas. Namun, apakah solusi ini benar-benar menghapus masalah atau sekadar memindahkannya?
Risiko Demokrasi Elitis
Pemilihan oleh DPRD membuka potensi baru: demokrasi elitis. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak lagi terlibat secara langsung dalam memilih pemimpinnya. Keputusan hanya diambil oleh segelintir elite partai di DPRD. Ini berisiko melahirkan kepala daerah yang lebih loyal pada partai dan kepentingan politik jangka pendek, ketimbang pada rakyat yang harusnya mereka layani.
Dalam skenario seperti itu, politik uang tetap ada, hanya saja bentuknya berubah: dari membayar suara rakyat menjadi membayar suara wakil rakyat. Potensi “jual beli suara” di tingkat legislatif lokal bukanlah isapan jempol. Kita tahu banyak kepala daerah ditangkap karena kasus suap berkaitan dengan pengesahan anggaran bersama DPRD. Maka, jika Pilkada dipilih DPRD tanpa perbaikan sistem dan pengawasan yang kuat, kita hanya memindahkan sumber masalah.
Mencari Titik Temu
Yang ideal tentu bukan sekadar memilih antara pemilihan langsung atau tidak langsung. Demokrasi yang sehat harus menjamin dua hal: partisipasi rakyat dan integritas sistem. Jika Pilkada langsung masih dianggap rawan, bukan sistemnya yang langsung dihapus, melainkan mekanismenya yang harus dibenahi.
Transparansi dana kampanye, pendidikan politik warga, pembatasan biaya kampanye, serta penegakan hukum terhadap praktik politik uang harus diperkuat. Di sisi lain, jika pemilihan oleh DPRD benar-benar dianggap lebih efisien dan aman, maka sistemnya harus dirancang dengan pengawasan publik yang ketat. Setiap proses pemilihan oleh DPRD harus terbuka, disiarkan secara publik, dan memungkinkan masyarakat memberi masukan terhadap calon yang diusung.
Kita dapat menyimpulkan bahwa, Pemilihan kepala daerah adalah jantung demokrasi lokal. Mengembalikannya ke tangan DPRD bisa menjadi solusi efisiensi, tapi juga bisa menjadi pintu masuk kemunduran demokrasi jika tidak dibarengi dengan sistem yang akuntabel dan transparan. Rakyat bukan sekadar penonton dalam demokrasi. Mereka adalah pemilik kedaulatan.
Wacana perubahan sistem Pilkada harus didiskusikan secara terbuka, tidak terburu-buru, dan melibatkan semua elemen bangsa. Jangan sampai atas nama efisiensi, kita kehilangan esensi: bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Chaidir Toweren, Penulis adalah seniman politik lokal.