Takengon | TribuneIndonesia.com
Dunia jurnalistik di Aceh Tengah kembali diguncang oleh tindakan tak pantas. Istri dari pemeran video VCS cabul yang sempat menghebohkan jagat maya, justru menuding wartawan melakukan pemerasan saat hendak dikonfirmasi.
Kronologi bermula ketika Dian Aksara, wartawan Tribune Indonesia, berupaya menjalankan tugas jurnalistik dengan menghubungi keluarga pemeran video tersebut. Langkah konfirmasi dilakukan karena nomor telepon sang suami tidak aktif, bahkan pesan singkat melalui WhatsApp pun tak kunjung dibaca.
Dengan etika, Dian memperkenalkan diri melalui panggilan WhatsApp. Namun, bukannya mendapat jawaban sewajarnya, justru serangan kata-kata kasar yang ia terima dari sang istri.
“Kejadian itu sudah sebulan, kenapa pula kamu bilang kalau saya yang ada di video itu?” balasnya dengan nada tinggi, yang sama sekali tidak relevan dengan maksud konfirmasi wartawan.
Tak berhenti di situ, sang istri bahkan menantang lokasi. Ia mengaku berada di ruang Kasat Reskrim Polres Aceh Tengah, Pak Deno, dan dengan nada sarkastik mempersilakan wartawan datang menemuinya.
“Tunggu 30 menit lagi, saya di Polres. Kalau mau jumpa, kemari saja. Hebat sekali kamu!” katanya ketus.
Dian menilai situasi itu berpotensi menimbulkan keributan, apalagi suasana Polres saat itu ramai warga yang sedang mengurus SKCK. Ia pun memilih tidak memenuhi ajakan tersebut.
Ironisnya, setelah komunikasi berhenti, sang istri kembali mengirimkan serangkaian pesan bernada kasar. Ia menuding wartawan mencari uang dengan cara kotor, bahkan menyeret nama seorang reje kampung untuk memperkuat klaimnya. Beberapa pesan suara yang dikirim juga berisi kata-kata tidak pantas, mencederai etika komunikasi serta merendahkan profesi jurnalis.
Tindakan itu sontak memicu kemarahan insan pers di Aceh Tengah. Mereka menilai tuduhan wartawan sebagai pemeras adalah bentuk pelecehan profesi. Padahal, konfirmasi merupakan kewajiban utama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang melindungi kebebasan pers dalam menjalankan tugas.
“Ini jelas pencemaran nama baik terhadap profesi kami. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk memeras. Tuduhan semacam ini sangat berbahaya dan harus diluruskan,” tegas sejumlah wartawan yang mengecam keras tindakan istri pemeran video cabul tersebut.
Senada dengan itu, Ketua Pro Jurnalis Media Siber (PJS) Provinsi Aceh, Chaidir Toweren, SE., KJE juga menyampaikan kecaman keras.
“PJS menilai tudingan itu adalah fitnah yang mencederai marwah pers. Konfirmasi adalah bagian dari kode etik jurnalistik. Bila ada pihak yang merasa keberatan, seharusnya diselesaikan sesuai mekanisme yang ada, bukan dengan melempar tuduhan sembarangan. Kami mendesak aparat penegak hukum agar bertindak tegas demi menjaga martabat jurnalis dan tegaknya UU Pers,” ujarnya.
Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa alih-alih menunjukkan itikad baik, pihak keluarga pelaku VCS justru menyerang jurnalis yang bekerja sesuai kode etik. Sikap arogan ini bukan hanya mempermalukan diri sendiri, tetapi juga berpotensi menyeret persoalan ke ranah hukum.
Kini bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Apakah akan membiarkan pencemaran nama baik insan pers ini, atau segera bertindak demi menjaga marwah profesi wartawan sebagaimana diamanahkan undang-undang. (Tim)




 
					






 
						 
						 
						 
						 
						



