Deli Serdang I Tribuneindonesia.com
Hari Senin, 26 Mei 2025 berubah menjadi mimpi buruk bagi dunia pendidikan dan perlindungan anak di Indonesia. Aksi demonstrasi yang digelar oleh Al Washliyah di kantor Bupati Deli Serdang memunculkan kegelisahan luar biasa. Bukan karena tuntutan semata, tapi karena pemandangan mencekam: anak-anak berseragam sekolah terlibat dalam aksi tersebut.
Gambar anak-anak Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah berdiri di tengah kerumunan massa dewasa, mengangkat poster, meneriakkan tuntutan, telah memicu kecaman keras dari berbagai kalangan nasional hingga daerah.
Kak Seto atau Seto Mulyadi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), melalui pesan pribadinya menyampaikan peringatan keras:
“Ini jelas-jelas melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 87 UU No. 23 Tahun 2007, anak-anak dilarang keras terlibat dalam unjuk rasa. Mereka rentan terhadap eksploitasi, tekanan psikologis, dan bahkan kekerasan fisik.”
Kak Seto menambahkan dengan nada prihatin:
“Walau anak-anak memiliki kaitan langsung dengan persoalan, tetap tak dibenarkan melibatkan mereka dalam aksi seperti ini. Itu bukan solusi, itu pelanggaran hak anak!”
Junaidi Malik, Ketua KPAI Deli Serdang, turut menyampaikan keprihatinan yang mendalam.
“Kami sangat menyayangkan pelibatan siswa-siswa berseragam dalam aksi ini. Ini menciptakan trauma yang menghantui dan bisa berdampak jangka panjang. Anak-anak seharusnya berada di kelas, bukan di tengah-tengah panasnya konflik orang dewasa.”
Di malam yang sama, di Kopi Siang Malam, Jl. Dr. Sutomo No.177 Lubuk Pakam, suara kecaman menggaung dari tokoh masyarakat dan tokoh pemuda:
H. Sugeng Sugiharto (Sesepuh KB FKPPI Deli Serdang)
Herman Nauli Nasution, SH (Ketua DPD AMPI)
Edi Hartono alias Edi Kulkas (Ketua Satgas DPD AMPI)
Iwan Nugroho (Kader PD II KB FKPPI Sumut)
Ferdinan Purba, SH (Pemerhati pendidikan)
Mereka menilai pelibatan anak sebagai tindakan yang mengerikan dan tidak bisa ditoleransi:
“Mengekspos anak-anak ke keramaian penuh emosi dan potensi kekerasan adalah bentuk nyata eksploitasi. Ini mencoreng nilai kemanusiaan dan pendidikan. Kami mengutuk keras tindakan ini!”
Meski Bupati dr. H. Asri Ludin Tambunan dan Wakil Bupati Lom Lom Suwondo bersedia menerima perwakilan demonstran untuk berdialog, ketidakjelasan hasil pertemuan menambah aura mencekam atas ketegangan yang belum reda.
“Kita bersyukur masih ada ruang musyawarah. Tapi jika anak-anak kembali dilibatkan, kita menghadapi ancaman serius terhadap generasi penerus bangsa!” tegas para tokoh.
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa—ini alarm keras bahwa perlindungan anak di negeri ini bisa dirusak demi kepentingan tertentu. Dan jika dibiarkan, bayangan trauma dan ketakutan akan terus menghantui pendidikan dan masa depan anak-anak Indonesia.
Ilham Tribuneindonesia.com