MEDAN | TribuneIndonesia.com – Suasana di Kecamatan Medan Deli mendadak mencekam. Puluhan warga Lingkungan VI, Kelurahan Titipapan, tumpah ruah ke Kantor Camat Medan Deli di Jalan Rumah Potong Hewan, Mabar, Kamis (18/09/2025). Mereka berteriak, memasang spanduk besar, dan menolak keras rencana pembangunan Vihara di kawasan Jalan KL Yos Sudarso Km 11,5.
Spanduk bertuliskan “Warga Lingkungan VI Titipapan Menolak dan Tidak Setuju dengan keras dibangunnya Vihara dan Yayasan Sosial” berkibar di depan kantor camat. Suara orasi warga menggema, memecah ketenangan siang, menebarkan suasana tegang yang menyelimuti kawasan itu.
“Sebagian memang ada yang menolak, namun ada juga sebagian yang setuju,” ujar Aditya, salah seorang warga, dengan nada getir. Namun suara mayoritas warga terdengar lantang, menolak tanpa kompromi.
Penolakan itu bukan tanpa alasan. Warga menegaskan mayoritas penduduk Lingkungan VI adalah Muslim, sementara hampir tidak ada penganut Budha di sekitar lokasi. Kekhawatiran mereka, pembangunan rumah ibadah yang luasnya mencapai tiga ribu meter itu justru akan memicu keresahan dan menimbulkan gesekan sosial. “Karena di lingkungan kami tidak ada masyarakat beragama Budha, akibatnya bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,” ujar salah seorang tokoh warga dengan nada penuh waspada.
Situasi kian panas saat warga menyinggung keputusan musyawarah pada 30 Agustus 2025 lalu. Dalam pertemuan yang dihadiri Lurah, Babinsa, Bhabinkamtibmas, kepala lingkungan, hingga pihak pembeli lahan, seluruh warga telah bersuara bulat: menolak pembangunan. Putusan itu sudah jelas, namun isu pembangunan tetap bergulir, memicu amarah warga kembali membara.
Kecurigaan warga semakin tajam karena lokasi rencana pembangunan Vihara berjarak hanya beberapa meter dari kompleks Bea Cukai dan dikelilingi permukiman padat. “Bayangkan saja, bangunan besar itu berdiri di tengah rumah warga. Apa tidak bikin resah? Apa tidak menimbulkan masalah?” cetus seorang warga dengan wajah tegang.
Ketegangan semakin terasa ketika warga diajak masuk ke kantor camat untuk dimediasi. Namun jawaban yang mereka terima justru membuat massa semakin gelisah. “Besok saja warga masyarakat datang kembali kemari,” ucap salah seorang aparat kepada warga, seolah menunda penyelesaian masalah.
Jawaban itu sontak menimbulkan kekecewaan. Warga keluar dari kantor camat dengan wajah geram, membawa pulang amarah yang belum reda. Situasi seakan menjadi bara yang siap meledak kapan saja.
Kini, isu penolakan pembangunan Vihara di Titipapan telah menyulut suasana panas di Medan Deli. Suara warga semakin lantang, spanduk penolakan terus berkibar, dan ketegangan sosial makin terasa, membuat publik bertanya-tanya: akankah gejolak ini segera padam, atau justru berubah menjadi api besar yang membakar kerukunan di Medan Deli?
Ilham Gondrong
















