Aceh Utara | TribuneIndonesia.com
Menjelang habisnya masa Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IV Regional 6 Cot Girek, Aceh Utara, pada tahun 2026 mendatang, gelombang penolakan dari masyarakat dan tokoh-tokoh lokal terus menguat. Mereka mendesak agar pemerintah tidak memperpanjang izin konsesi lahan milik BUMN tersebut, karena dinilai tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat.
Sekretaris Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Aceh, Purn TNI Zulsyafri, bersama tokoh masyarakat Cot Girek, Edi Saputra alias Aki Lhee, memimpin suara penolakan tersebut. Keduanya menilai, kehadiran PTPN IV selama puluhan tahun hanya menyisakan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi di daerah penghasil.
“Bagaimana kami bisa mendukung perpanjangan HGU kalau tidak ada untungnya sama sekali bagi kami? Tenaga kerja mereka 80 persen dari luar Aceh Utara. Kami hanya jadi penonton di tanah sendiri,” tegas Edi Saputra saat diwawancarai KAKI, Sabtu (3/8/2025).
Menurutnya, warga lokal tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam pengelolaan kebun maupun aktivitas produktif lainnya. Ia juga menyoroti praktik pembelian Tandan Buah Segar (TBS) dari petani lokal yang dinilai semena-mena dan tidak transparan.
“Mereka beli TBS sesuka hati, tidak ada standar harga. Ini bentuk ketidakadilan ekonomi yang sudah dibiarkan terlalu lama,” tambahnya dengan nada geram.
Penolakan terhadap perpanjangan HGU juga datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017, perpanjangan HGU tidak dapat dilakukan secara otomatis. Pasal 10 ayat (1) peraturan tersebut menegaskan bahwa permohonan perpanjangan harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat, aspek lingkungan hidup, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
“Kalau keberadaan PTPN IV justru menutup akses kerja masyarakat lokal dan mempermainkan harga TBS petani, itu sudah cukup jadi alasan kuat untuk menolak perpanjangan,” ujar salah seorang aktivis lingkungan Aceh Utara.
Warga Cot Girek kini berharap agar lahan bekas HGU kelak dapat dikembalikan kepada rakyat melalui mekanisme yang adil dan produktif, misalnya dikelola oleh koperasi petani atau BUMG (Badan Usaha Milik Gampong).
“Sudah saatnya rakyat jadi tuan di tanah sendiri. Jangan biarkan raksasa BUMN terus memonopoli lahan ribuan hektare tanpa keberpihakan kepada rakyat,” tutup Edi dengan lantang.
Sekretaris KAKI Aceh, Purn TNI Zulsyafri, menambahkan bahwa jika suara masyarakat terus diabaikan, maka bukan tidak mungkin akan muncul gelombang protes yang lebih besar.
“Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Utara, dan DPR Aceh harus segera mengambil sikap tegas dan berpihak kepada rakyat, bukan kepada korporasi yang tidak peduli terhadap daerah penghasil,” tandasnya.
Gelombang penolakan ini menjadi peringatan keras bahwa kebijakan agraria di Aceh harus mulai berpihak pada keadilan sosial, bukan hanya mengejar keuntungan ekonomi korporasi semata. (#)
















