Oleh : Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Negara sedang rajin. Rajin memburu yang dianggap “menganggur”. Rekening pasif diblokir. Tanah tidak terpakai disita. Alasannya? Tidak produktif. Tidak memberikan manfaat. Maka pantas diambil alih negara.
Baik. Jika itu logikanya, izinkan kami bertanya: rakyat yang menganggur, rencana negara apa untuk mereka? Diblokir juga? Disita? Atau cukup dianggap beban negara, lalu dipersilakan menghilang dari statistik?
Kita hidup di negeri yang begitu tegas terhadap aset tak bergerak, namun begitu lambat bergerak untuk rakyatnya yang terhimpit. Tanah dibiarkan sebentar saja, langsung disegel. Tapi rakyat dibiarkan tanpa pekerjaan bertahun-tahun dianggap biasa. Menganggur bukan perkara tak mau bekerja. Banyak yang rela kerja apa saja. Tapi lapangan kerja semakin sempit, skill tak terserap, dan peluang makin mahal. Negara tahu itu. Tapi memilih pura-pura lupa.
Lucu memang. Tanah dan rekening diberi label: idle assets. Harus segera dimanfaatkan. Tapi rakyat yang hidup, bernapas, punya tenaga dan mimpi malah tak dilabeli apa-apa. Tidak prioritas. Tidak mendesak. Padahal, mereka juga “aset”. Bahkan satu-satunya aset yang bisa benar-benar membangun bangsa jika diberi kesempatan.
Apakah negara hanya sibuk mencari cara mengisi kas? Sambil lupa bahwa yang sedang kosong bukan cuma rekening negara, tapi juga perut rakyatnya?
Tak usah jauh-jauh bicara soal revolusi industri 5.0 atau ekonomi digital. Pertanyaan paling sederhana saja belum terjawab: pekerjaan layak untuk siapa? Untuk rakyat biasa atau hanya untuk mereka yang sudah punya akses?
Kalau rekening menganggur diblokir karena tidak berguna, dan tanah nganggur disita karena tak dipakai, maka apa selanjutnya? Apakah rakyat menganggur akan dicoret dari sistem? Dipaksa mandiri tanpa arah? Atau hanya terus dijadikan objek data tanpa solusi nyata?
Bangunlah, wahai negara. Jangan hanya pandai menagih dari yang tak bersuara. Jadilah pelayan, bukan hanya pemungut. Sebab jika rakyat mulai merasa tidak dianggap hidup, jangan salahkan bila suatu hari mereka memilih untuk tak lagi diam.