Minahasa, Sulut|Tribuneindonesia.com
Gelombang Kecaman Publik dan Dugaan Kejanggalan menyelimuti kasus tragis tenggelamnya pengunjung bernama Firland Richo Lahilote di Resort Kabesaran, Minahasa. Jumat (17/10/25).
Insiden yang menelan korban jiwa ini kini bergeser dari sekadar musibah biasa menjadi sorotan tajam terkait tanggung jawab pengelola dan etika penegakan hukum.
Dugaan Mencurigakan muncul ke permukaan setelah terkuak adanya pemberian sejumlah uang dari pihak pengelola resort kepada individu yang terlibat dalam operasi pencarian korban.
Langkah pengelola resort yang diketahui bernama Ko Ipan tersebut dinilai janggal, memicu spekulasi tentang upaya “balas jasa” yang berada di luar koridor hukum.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal LSM Kibar Nusantara Merdeka (KIBAR NM), Yohanes Missah, melontarkan kritik keras, menyebut tindakan pemberian uang itu sebagai langkah yang mencurigakan.
Menurut Yohanes, hal tersebut justru dapat membuka celah untuk menutupi tanggung jawab hukum utama pengelola resort atas insiden kematian Richo Lahilote.
“Jika benar ada aliran dana dari pengelola resort kepada pihak yang membantu pencarian, transparansi mutlak harus dilakukan,”
tegas Yohanes Missah. Ia menekankan, jangan sampai tindakan tersebut mengaburkan tanggung jawab primer resort dalam insiden hilangnya nyawa pengunjung.
Yohanes Missah mendesak penyidik agar segera mengambil langkah tegas untuk menetapkan tersangka tanpa pandang bulu.
Desakan ini semakin kuat, terutama jika ditemukan bukti adanya kelalaian manajemen atau pelanggaran serius terhadap izin operasional yang berlaku.
“Resort yang beroperasi tanpa standar keselamatan yang memadai dan tidak memiliki izin lengkap secara jelas telah melanggar Undang-Undang Pariwisata,”
pungkasnya. Jika unsur kelalaian terbukti menjadi penyebab kematian, pengelola harus dijerat dengan sanksi pidana yang berlaku.
Menurut LSM KIBAR NM, potensi jeratan hukum bagi pengelola resort sangat terbuka.
Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan Pasal 54 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang mewajibkan jaminan keselamatan wisatawan, menjadi landasan pidana yang potensial.
Selain itu, pelanggaran juga dapat mencakup Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, terkait tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen akibat layanan yang tidak sesuai standar keselamatan.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 25 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan Pelayanan Wisata Air pun turut dilanggar jika resort abai pada prosedur darurat.
Di sisi lain, kekecewaan mendalam datang dari Nurdin Lahilote, orang tua korban.
Ia mengungkapkan bahwa pengelola resort, Ko Ipan, semula berjanji menanggung seluruh biaya kedukaan, namun kemudian mengingkari janji tersebut dan hanya menyanggupi bantuan sebesar Rp 10 juta.

“Kami merasa dibohongi dan sangat kecewa. Ko Ipan awalnya bilang akan tanggung semua, tapi saat kami datang menuntut janji itu, dia bilang hanya bisa bantu Rp 10 juta,”
ungkap Nurdin Lahilote.
Kekecewaan keluarga korban semakin memuncak ketika mereka mendapati adanya kejanggalan dalam penanganan barang bukti pasca insiden.
Perahu yang digunakan Richo dan rekan-rekannya dilaporkan tidak diamankan, dan bahkan police line di lokasi sudah dicabut.
Sementara itu, Kapolsek Lembean Timur, IPDA Hermanto, mengonfirmasi bahwa kasus ini masih menjadi atensi serius pihak kepolisian.
Melalui komunikasi via WhatsApp, IPDA Hermanto menyatakan akan berkoordinasi dengan pimpinan terkait perkembangan penyelidikan yang sedang berlangsung.
Publik, bersama LSM KIBAR NM, kini menanti langkah nyata dan ketegasan aparat penegak hukum.
Kasus ini dianggap bukan sekadar kecelakaan, melainkan ujian bagi penegakan keadilan dan tanggung jawab etika demi memastikan tidak ada lagi tragedi serupa di sektor pariwisata. (Talia)















