BANTEN|TribuneIndonesia.com
Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) sejatinya hadir sebagai jawaban atas kebutuhan petani dalam meningkatkan kualitas irigasi. Dengan anggaran Rp195 juta untuk setiap kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), program ini digadang-gadang mampu memperbaiki taraf hidup, membuka lapangan kerja, dan mengurangi pengangguran di desa. Namun, cita-cita mulia itu kini ternodai dengan praktik kotor yang disebut-sebut melibatkan oknum anggota DPR RI.
Di Kabupaten Pandeglang dan Lebak, Banten, alih-alih membawa berkah, kelompok penerima justru dicekik dengan “setoran wajib” hingga 30% dari nilai anggaran. Dugaan pemotongan sadis ini mencuat ke publik setelah pengakuan sejumlah penerima manfaat dan dikecam keras oleh aktivis.
Rohmat, aktivis Rakyat Pandeglang Melawan, menegaskan bahwa perilaku oknum aspirator dari partai berbasis Islam itu benar-benar menciderai nurani rakyat.
“Dari nilai pagu Rp195 juta, dipotong hingga 30%. Ini bukan sekadar penyimpangan, tetapi sudah termasuk tindakan sadis yang mengorbankan rakyat kecil demi mempertebal kantong pribadi,” tegas Rohmat.
Lebih menyakitkan lagi, lanjut Rohmat, mantan-mantan aktivis yang dahulu dikenal sebagai pejuang suara rakyat kini justru berubah haluan. Mereka direkrut, dipaksa, bahkan rela menjadi alat untuk melanggengkan keserakahan.
“Mantan-mantan aktivis dari basis Islam yang dulu berteriak soal keadilan, kini malah menjadi tangan kanan oknum DPR RI. Mereka jadi koordinator lapangan, mengawasi dan memeras kelompok tani penerima program,” ungkapnya.
Oknum berinisial AF, anggota DPR RI yang dimaksud, disebut-sebut hanya menjadikan seragam agama sebagai topeng. Alih-alih mencerminkan nilai Islami, sikapnya justru menyerupai oportunis yang tega menindas rakyat sendiri.
“Rakyat bukanlah sapi perah. Anggaran negara bukan ladang bancakan. Jika program untuk rakyat kecil saja diperas sedemikian rupa, lalu di mana letak nurani dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat? Saatnya rakyat melawan,” kata Rohmat yang juga pernah lantang menolak MoU Sampah di Pandeglang.
Praktik dugaan pemotongan dana ini jelas berpotensi melanggar hukum. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara dapat dipidana. Pasal 12 huruf e secara tegas menyebut, pejabat atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi atau memaksa pemberian dari pihak penerima manfaat program bisa dipidana dengan hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, tindakan ini juga melanggar UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur kode etik anggota DPR. Seorang anggota DPR wajib menjaga integritas, jujur, dan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Lebih jauh, tindakan tersebut juga masuk kategori penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor, di mana setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
Rohmat mendesak aparat penegak hukum, mulai dari KPK hingga Kejaksaan Agung, agar turun tangan mengusut tuntas praktik haram ini.
“Kami mendesak penegak hukum agar tidak tutup mata. Rakyat kecil tidak boleh terus dijadikan korban permainan politik busuk dan perampokan anggaran berkedok program pro-rakyat,” pungkasnya.
Cukup sudah! Rakyat Pandeglang harus berani bersuara, melawan tirani, dan memastikan bahwa mereka yang mengkhianati amanah publik tidak lagi bebas berkeliaran. Oknum DPR semacam ini harus dipermalukan, diproses hukum, dan dijadikan pelajaran agar praktik sadis terhadap rakyat tak lagi terulang.”(Jaka )