Oleh: Redaksi Tribune Indonesia
TribuneIndonesia.com –– Gelombang evaluasi terhadap pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) kini bergulir di berbagai daerah. Dari Sumatera hingga Papua, pemerintah kabupaten dan kota ramai-ramai meninjau ulang besaran tunjangan pegawainya, setelah dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dari pemerintah pusat mengalami penyesuaian.
Langkah ini tampak wajar di tengah tekanan fiskal. Namun, di balik kebijakan “efisiensi” tersebut, tersimpan pertanyaan besar: mengapa beban penghematan justru selalu dilimpahkan ke pegawai daerah, sementara pemborosan anggaran di pos lain sering dibiarkan?
Sejak beberapa tahun terakhir, struktur APBD banyak daerah membengkak di belanja pegawai. Dalam beberapa kasus, porsi belanja rutin bahkan menembus lebih dari 60% total anggaran, menyisakan ruang sempit untuk pembangunan publik.
Ketika pemerintah pusat menyesuaikan dana transfer baik melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), maupun Dana Insentif Fiskal daerah pun kelabakan. Maka muncullah kebijakan “penyesuaian TPP” sebagai langkah cepat menambal defisit.
Padahal, TPP bukanlah bonus, melainkan instrumen kebijakan yang dirancang untuk mendorong kinerja aparatur sipil negara (ASN), menekan absensi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Bila pemotongan dilakukan tanpa perhitungan matang, semangat kerja ASN bisa tergerus, dan pelayanan publik menjadi korbannya.
Evaluasi TPP seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk melakukan reformasi struktural, bukan sekadar penghematan angka.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak jabatan administratif diisi ganda atau tidak produktif, sementara pegawai lapangan dan tenaga teknis yang bersentuhan langsung dengan masyarakat justru minim penghargaan.
Ironisnya, pejabat struktural sering menerima TPP lebih besar, walau kontribusinya terhadap output publik tidak sepadan.
Inilah yang disebut oleh para pengamat sebagai “birokrasi gemuk tapi kinerja kurus.”
Evaluasi TPP akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan perombakan sistem kinerja yang lebih adil, transparan, dan berbasis capaian nyata.
Pemangkasan TPP demi menutup celah fiskal boleh saja dilakukan, asal didasarkan pada prinsip keadilan dan akuntabilitas.
Namun, jika hanya ASN lapis bawah yang terkena imbas, sementara pejabat elit daerah tetap menikmati fasilitas mewah, itu bukan efisiensi itu ketimpangan.
Publik masih mencatat kasus perjalanan dinas fiktif, proyek seremonial, hingga pengadaan yang tak relevan.
Bukankah lebih logis bila efisiensi dimulai dari pos-pos pemborosan itu, bukan dari keringat pegawai pelayanan?
Kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh kepala daerah.
Evaluasi TPP jangan dimaknai sebagai “potongan tunjangan”, melainkan kesempatan memperbaiki manajemen kinerja dan tata kelola keuangan daerah.
Sudah saatnya pemerintah daerah:
1. Menyusun analisis jabatan dan beban kerja secara transparan;
2. Mengaitkan TPP langsung dengan indikator kinerja individu dan organisasi;
3. Menertibkan penggunaan anggaran perjalanan dan kegiatan non-produktif;
4. Melibatkan inspektorat dan publik dalam proses evaluasi agar hasilnya kredibel.
Kebijakan publik yang menyentuh hak pegawai bukan semata soal angka, tapi juga soal keadilan sosial dan moralitas pemerintahan.
Memang benar, daerah harus berhemat. Tapi berhemat tanpa arah, hanya akan mematikan semangat kerja aparatur dan memperburuk pelayanan masyarakat.
Evaluasi TPP hendaknya tidak menjadi alat pemangkasan semata, melainkan jalan menuju birokrasi yang ramping, berintegritas, dan berorientasi pada hasil.
Karena pada akhirnya, efisiensi sejati bukan diukur dari berapa banyak yang dipotong, tapi dari seberapa besar manfaat yang dirasakan rakyat.
Redaksi Tribune Indonesia
(Opini ini dimuat dalam edisi Rabu, 5 November 2025)
















