Aceh Timur | TribuneIndonesia.com
Kisruh pemberitaan dugaan adanya aliran Dana Desa (DD) Gampong Seunebok Saboh kecamatan Pante Bidari kabupaten Aceh Timur, kembali memunculkan polemik. Kali ini, bukan soal substansi berita, melainkan cara pihak desa menanggapi informasi yang mereka anggap merugikan. Bukannya menempuh jalur resmi melalui mekanisme hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers, pihak desa justru memilih mencari media lain untuk menantang pemberitaan tersebut.
Langkah itu sontak menuai kritik dari berbagai kalangan. Publik menilai tindakan pihak desa merupakan bentuk salah kaprah yang dapat menambah keruh suasana, bukannya menyelesaikan persoalan. “Dalam aturan pers, sudah sangat jelas bahwa keberatan terhadap suatu pemberitaan wajib disampaikan kepada media yang menayangkan. Bukan dengan cara memprovokasi lewat media lain,” tegas seorang pemerhati pers di Aceh Timur.
Ironisnya, Tabloid Putrapos yang menayangkan pernyataan pihak desa tersebut justru ikut terseret sorotan. Media ini dianggap gagal memahami dan menjalankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sebab, bukannya memberi ruang klarifikasi sesuai prosedur pers, tabloid putrapos.com ini malah membuka ruang untuk pernyataan yang bersifat menantang dan provokatif.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 5, sudah diatur secara tegas bahwa pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. Artinya, ketika ada pihak yang merasa dirugikan, jalur resmi yang harus ditempuh adalah dengan mengajukan hak jawab ke media bersangkutan. Media pun memiliki kewajiban menayangkannya secara proporsional. Dan disetiap media didalam bok redaksi ada nomor telepon redaksi yang dapat dihubungi.
Anehnya lagi pihak wartawan Tabloid Putrapos Insial KP juga meminta wartawan TribuneIndonesia.com meminta untuk memghapus berita tersebut. Hak dirinya untuk meminta hapus apa ? Seharusnya semua dilakukan secara resmi dan sesuai aturan.
Tindakan pihak desa yang justru mencari media lain, serta media lain tersebut menayangkannya tanpa rambu-rambu etika, dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap aturan yang sudah jelas. Hal ini bukan hanya berpotensi menyesatkan publik, tetapi juga merusak tatanan pers itu sendiri.
“Kalau semua pihak bertindak semaunya, dunia pers akan kacau. Hari ini ada berita, besok dibantah di media lain, lusa muncul versi baru lagi. Publik akhirnya bingung, mana informasi yang benar,” tambah pengamat tersebut.
Kondisi ini semakin memperlihatkan pentingnya literasi media, baik di kalangan pemerintah desa maupun pengelola media itu sendiri. Pers yang profesional tidak boleh menurunkan standar etika hanya karena ingin mengejar sensasi atau popularitas. Sebaliknya, pers harus menjadi saluran edukasi yang mengarahkan semua pihak pada mekanisme yang benar.
Sementara itu, pihak desa juga diingatkan agar lebih arif dalam menyikapi pemberitaan. Menggunakan hak jawab bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan dalam berdemokrasi dan keterbukaan informasi. Dengan hak jawab, klarifikasi bisa disampaikan secara langsung dan proporsional, sehingga masyarakat mendapat gambaran yang utuh dan berimbang.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa kode etik dan aturan pers bukan sekadar formalitas, melainkan pedoman penting demi menjaga marwah profesi wartawan serta kualitas informasi publik. Jika aturan ini terus diabaikan, pers justru akan menjadi sumber kegaduhan, bukan lagi pilar demokrasi.
Masyarakat kini menanti langkah bijak dari semua pihak baik pihak desa maupun media untuk mengakhiri polemik dengan cara yang elegan, bukan dengan saling serang yang hanya menambah keruh situasi. Jangan mengggap dekat dengan salah satu oknum wartawan seolah-olah semua bisa diabaikan. (Red/tim)
















