“Saat Aku Kembali ke Pelukan Ibu”

- Editor

Minggu, 13 Juli 2025 - 01:46

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Penulis: Ilham Gondrong TribuneIndonesia.com

Rio adalah anak semata wayang dari pasangan Hardono dan Maisyah. Ia lahir dari cinta yang suci dan sederhana, dalam pelukan keluarga yang penuh kasih meski tak bergelimang harta. Sejak pertama kali menangis di dunia ini, Rio telah menjadi pusat segalanya bagi kedua orang tuanya.

Mereka membesarkan Rio dengan seluruh cinta yang mereka punya. Tangisan kecilnya menggerakkan malam-malam panjang mereka. Peluh Hardono di ladang dan keringat Maisyah menjajakan sayur keliling, semua demi memastikan Rio tak kekurangan apa pun.

Rio tumbuh menjadi anak manja. Apa yang diminta, selalu diberikan. Ia tak pernah tahu bagaimana sulitnya sang Ayah mencari uang, atau betapa lelahnya sang Ibu menahan nyeri di kakinya demi keliling kampung menjual sayur. Semua tampak mudah di mata Rio, dan itu membuatnya lupa cara bersyukur.

Namun, seberapa pun besar salah seorang anak, kasih orang tua tetap seperti mata air: tak pernah kering. Mereka tetap mencintainya. Mereka tetap bangga ketika Rio tumbuh cerdas dan akhirnya lulus dari universitas ternama sebagai seorang sarjana muda.

“Terima kasih, Ya Allah… anak kami jadi orang,” lirih Maisyah saat menyematkan kalung bunga di leher putranya hari itu. Air matanya jatuh, mencium tanah kampus tempat Rio menimba ilmu.

Tapi kebanggaan itu perlahan berubah menjadi pilu. Seiring dengan kematangan usianya, sikap Rio berubah. Ia mulai meremehkan nasihat Ayahnya. Ia mulai meninggikan suaranya pada Ibunya. Kadang, ia tak pulang saat Lebaran. Kadang, ia hanya memberi kabar seperlunya, seakan mereka bukan lagi orang tuanya.

Satu hari, datang tawaran kerja ke luar negeri. Rio diterima di sebuah perusahaan multinasional di Singapura. Kesempatan langka. Ia pun pulang membawa kabar gembira.

“Ayah, Ibu… saya dapat kerjaan di luar negeri. Perusahaan besar!”

Maisyah menatap anaknya, menahan gemuruh haru dan sedih di dada. “Berangkatlah, Nak. Tapi ingat… jangan lupa kami di sini.”

Hardono hanya diam. Ia mengangguk sambil menepuk bahu Rio, seolah menyimpan sejuta kata yang tak sempat diucap.

Di negeri orang, Rio menjelma jadi pribadi yang disiplin, tekun, dan terampil. Ia naik jabatan dengan cepat. Semua mata mengaguminya. Banyak wanita terpikat, tapi Rio tak menggubris. Ia punya ambisi lebih besar daripada cinta.

Sampai akhirnya, sang direktur utama menaruh hati padanya bukan sebagai pria, tapi sebagai calon menantu.

“Rio,” kata bosnya suatu hari, “aku ingin kamu menikahi anak perempuanku. Aku yakin, kau pria jujur dan bertanggung jawab.”

Rio tertegun. Ia tahu ini kesempatan luar biasa. Namun, ada syarat: orang tuanya harus hadir dalam acara lamaran resmi keluarga.

Rio panik. Ia takut status sosial orang tuanya orang desa biasa akan mempermalukannya. Ego dan gengsi yang dibesarkannya sendiri kini menjadi tembok tinggi yang menjauhkan ia dari akarnya.

Ia memutuskan menyewa pasangan tua untuk berpura-pura menjadi Ayah dan Ibunya. Lamaran pun berlangsung mewah dan megah, tanpa sepotong pun kenangan akan tanah kelahirannya.

Bertahun-tahun berlalu. Rio hidup dalam limpahan harta dan pujian. Tapi kampung halaman terlupakan. Hardono dan Maisyah hanya bisa menatap langit malam, menebak-nebak wajah anaknya dari gugusan bintang.

“Sudah tujuh tahun dia tak pulang,” kata Maisyah suatu malam.

Hardono hanya menghela napas. “Mungkin dia sibuk. Kita doakan saja dia sehat.”

Namun, hati seorang Ibu tahu: bukan sibuk alasan sebenarnya. Anak mereka sudah berubah.

Nasib membawa Rio pulang, meski bukan dalam niat yang sepenuhnya tulus. Ia ditugaskan ke Indonesia untuk memimpin proyek besar. Dan ironisnya, lokasi proyek itu adalah kampung kelahirannya sendiri. Ia datang bersama istri dan dua anaknya, disambut dengan karpet merah, pengawalan mobil mewah, dan sambutan pemerintah setempat.

Baca Juga:  Dari Kebun Sawit Menuju Lumbung Pangan: Harapan Baru dari Padi Gogo

Kabar itu segera sampai ke telinga Hardono dan Maisyah.

“Yang datang itu Rio… anak kita!” ujar Maisyah lirih saat melihat wajah itu di televisi lokal.

Meski ragu, mereka mendatangi lokasi proyek. Jarak yang selama ini hanya ada di hati, kini bisa mereka tapaki dengan kaki.

Saat Rio sedang menginspeksi pembangunan gedung, Maisyah memberanikan diri mendekat.

“Rio… Nak, ini Ibu… Ibu Maisyah…”

Rio menoleh. Sekejap, tatapan matanya kosong. “Maaf Bu… saya tidak kenal.”

Maisyah tertegun. “Nak… aku ibumu. Ini Ayahmu, Hardono…”

Rio menggeleng pelan, wajahnya kaku. “Ibu saya sudah meninggal sejak saya kecil…”

Dan kalimat itu bagai pisau yang menyayat bukan hanya dada, tapi jiwa Maisyah. Ia jatuh terduduk. Hardono menatap Rio tanpa kata. Lalu menarik istrinya pelan.

“Sudah, Mah. Kalau dia tak ingat kita, biarkan waktu yang bicara.”

Beberapa bulan kemudian, proyek besar itu gagal total. Ada kebocoran anggaran, material tidak sesuai spesifikasi, dan deadline tak tercapai. Rio dituntut membayar denda puluhan miliar. Bisnis-bisnis lainnya bangkrut satu per satu. Teman-teman yang dulu menyanjung kini menghindar. Bahkan, rumah tangganya retak—istrinya menggugat cerai dan membawa anak-anak mereka pergi.

Rio jatuh dalam keterpurukan. Tak ada satu pun pundak untuk bersandar. Dunia yang dulu menyambutnya dengan karpet merah, kini menelantarkannya dalam sunyi.

Malam-malamnya diisi penyesalan. Ia mulai mengingat masa kecil. Suara Ibu menyanyikan lagu nina bobo. Wajah Ayah yang memayungi dirinya saat hujan. Aroma nasi goreng buatan Ibu saat pagi hari. Semua kembali, namun kini hanya sebagai bayangan.

Di kampung, kabar keterpurukan Rio sampai ke telinga Maisyah. Bukannya bahagia karena anaknya “menuai akibat”, hati seorang Ibu justru mencemaskan.

“Biarlah, Mah. Kalau dia butuh kita, dia akan datang,” ujar Hardono.

“Tapi bagaimana kalau dia tak sempat datang lagi?” jawab Maisyah sambil berlinang air mata.

Mereka pun pergi mencari Rio. Dengan alamat seadanya, mereka sampai di sebuah rumah kecil di kota, tempat Rio tinggal sementara sendirian dan tak terurus.

Maisyah masuk pelan. Ia duduk di samping tubuh kurus yang terbaring di sofa. Wajah itu tetap wajah anaknya, meski kini dipenuhi luka batin yang terlihat di mata.

“Rio… Ibu di sini, Nak.”

Rio membuka mata. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menatap mata ibunya dalam-dalam. Air mata menggenang. Perlahan, ia turun dari sofa, bersimpuh, dan menangis di pangkuan sang Ibu.

“Maafkan aku, Bu… aku anak durhaka… aku malu… aku telah menyakitimu…”

Maisyah hanya memeluknya erat. “Sudah, Nak. Ibu tak pernah marah. Ibu cuma rindu.”

Hari itu, langit sore tampak lebih hangat. Di beranda rumah kecil yang sederhana, Rio duduk bersila di samping Ayah dan Ibunya. Tak ada mobil mewah. Tak ada jam tangan mahal. Yang ada hanya segelas teh manis, sepiring gorengan, dan tiga hati yang kembali bertemu setelah luka panjang.

Di pelukan Ibu, Rio merasa pulang. Bukan sekadar pulang secara fisik tapi pulang secara jiwa.

Pelukan Ibu tak pernah tertutup untuk anaknya, bahkan ketika dunia menolaknya. Jika Ibumu masih ada hari ini, peluklah dia. Karena Ridha Tuhan tergantung pada ridha Ibu.

Ilham TribuneIndonesia.com

Berita Terkait

FEIBC Merayakan Kehangatan Keluarga dan Semangat Bangsa dalam Gathering Oktober 2025: Feiby Josefina Pimpin Semangat ‘Fun, Elegant, Inspiring’
Menanti KPK Membasmi Agen Izin Peubloe (IUP) Nanggroe di Bumi Serambi Mekkah
Asal Jadi! Revitalisasi SDN Cikayas 3 Digeruduk Sorotan — Pengawasan Lemah, Kualitas Diragukan, Kepala Sekolah Bungkam
Bagaimana Aku Takut pada Kemiskinan, Sedang Aku Hamba dari Dia yang Maha Kaya
Peran ibu bupati aceh timur di garis depan melawan stanting melalui Edukasi Perilaku Higienis dan racun lingkungan
Jebakan Komunitas “Iming-Iming Impian”: Cuci Otak Berkedok Peluang, Janjikan Mobil hingga Rumah Miliaran
“Jaksa Tidur, Koruptor Tertawa: Publik Desak Jaksa Agung Bongkar Kebekuan Hukum di Daerah”
Ketika Disiplin Dianggap Kekerasan: Dunia Pendidikan yang Kian Retak
Berita ini 55 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 30 Oktober 2025 - 11:33

Viral! Otak Pengeroyokan dan Penganiayaan Jukir Menggunakan Sajam di Depok Diduga EVP PLN, “Terapkan UU Darurat

Kamis, 30 Oktober 2025 - 10:04

Bank Aceh Syariah Salurkan Zakat untuk 1.216 Mustahik Miskin Produktif di Aceh Tenggara

Kamis, 30 Oktober 2025 - 10:01

Aroma Penyimpangan di Proyek Rp781 Juta SDN Sukawaris 2 — Kepala Sekolah Bungkam, Baja Bekas Hilang Entah ke Mana!

Kamis, 30 Oktober 2025 - 02:20

ASN Rangkap Jabatan Bikin Heboh Cikeusik, Surat Mundur Tak Diterima, Wartawan Siap Turun!

Rabu, 29 Oktober 2025 - 10:06

Kasus ASN Jadi Ketua BUMDes Parungkokosan, Korwil Pendidikan Enggan Banyak Bicara — Aktivis Bara Api: Jangan Tutupi Fakta!

Rabu, 29 Oktober 2025 - 03:37

Arief Martha Rahadyan Dukung Penuh Pengembangan Bali Maritime Tourism Hub sebagai Proyek Strategis Nasional

Rabu, 29 Oktober 2025 - 03:33

Arief Martha Rahadyan: Penetapan 44 Kawasan Industri Bukti Keseriusan Pemerintah Bangun Ekonomi Merata

Selasa, 28 Oktober 2025 - 14:23

ODGJ Berkeliaran di Desa Tulang Baro, Warga Manyak Payed Resah

Berita Terbaru

Pemerintahan dan Berita Daerah

Potensial Jadi Kabupaten Terdepan, Pembangunan Tahun 2026 Dilakukan Lebih Awal

Kamis, 30 Okt 2025 - 14:07

Pemerintahan dan Berita Daerah

Lestarikan Kebudayaan, Pemkab Deli Serdang Adakan Pagelaran Budaya & Lomba Tari

Kamis, 30 Okt 2025 - 14:02

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x