Takengon | TribuneIndonesia.com
Misteri mandeknya audit terhadap Reje Atu Gajah, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah, masih menjadi tanda tanya besar. Dugaan penyimpangan keuangan desa yang telah lama tercium, hingga kini belum juga menemukan titik terang.
Sejumlah warga menyuarakan kekecewaan terhadap kinerja Ekspetorat Aceh Tengah. “Mereka itu cuma duduk di kantor, tidak kerja serius,” kata salah seorang warga yang meminta namanya dirahasiakan. Menurutnya, indikasi pelanggaran oleh Reje Atu Gajah sebenarnya sudah terendus sejak lama. Bahkan, baru lima bulan menjabat, pihak Ekspetorat pernah turun melakukan pemeriksaan ke desa tersebut. Namun, hasilnya nihil.
Ironisnya, pemeriksaan itu dinilai hanya formalitas. Sejumlah media, termasuk Harian Paparajji, pernah mengangkat kasus ini, tetapi hingga kini ujungnya tetap kabur. “Sebenarnya ada apa di balik semua ini?” tanya warga.
Informasi yang dihimpun Tribune Indonesia menyebutkan, beberapa aparatur desa sudah dipanggil ke Mapolres Aceh Tengah untuk dimintai keterangan. Saat dikonfirmasi usai konferensi pers kasus korupsi lanjutan pembangunan Pasar Bertingkat Bale Atu, penyidik Tipikor membenarkan pemanggilan aparatur Desa Atu Gajah.
Namun, pihak kepolisian mengaku telah melimpahkan kasus ini ke Ekspetorat untuk proses audit. “Audit itu ranahnya Ekspetorat. Kami tunggu hasil mereka, baru proses hukum berjalan,” kata salah satu penyidik.
Ketika Tribune Indonesia mencoba mengonfirmasi ke kantor Ekspetorat Aceh Tengah, inspektur yang baru menjabat, sebelumnya dari Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja, mengaku belum mengetahui detail kasus. “Saya belum banyak tahu soal permasalahan keuangan desa. Tidak ada penyerahan berkas dari inspektur lama,” ujarnya.
Menjelang salat Zuhur, sang inspektur hanya mencatat nama media dan nomor HP, berjanji bagian terkait akan menghubungi. Namun, hingga satu jam kemudian, tak ada kabar. Saat dihubungi kembali, ia mengatakan pejabat yang menangani kasus sedang berada di Banda Aceh. “Tunggu dia pulang ke Takengon,” katanya, sambil memberikan nomor kontak pejabat tersebut.
Nomor tersebut ternyata milik Heriyanto Ilham, pihak yang menangani audit kasus Atu Gajah. Saat dikonfirmasi via WhatsApp, Heriyanto menjawab singkat namun tegas bahwa kendala utama mandeknya audit adalah keterbatasan anggaran. “Memang anggaran terbatas, itu jadi kendala,” ungkapnya.
Kini, masyarakat Desa Atu Gajah hanya bisa berharap kasus ini tidak tenggelam di meja birokrasi. Apakah benar alasan kekurangan anggaran yang membuat audit terhenti? Atau ada faktor lain yang sengaja menahan lajunya pemeriksaan? Misteri ini masih belum terjawab. (Dian Aksa)
















