Jakarta | TribuneIndonesia.com
16 Juni 2025 – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia menjatuhkan sanksi tegas berupa pemberhentian tetap kepada Rita Afrianti dari jabatannya sebagai Ketua merangkap Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang.
Putusan tersebut disampaikan dalam sidang pembacaan perkara dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang digelar di Ruang Sidang Utama DKPP di Jakarta, Senin (16/6/2025).
“Memutuskan: 1) Mengabulkan pengaduan pengadu untuk seluruhnya; 2) Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Rita Afrianti selaku Ketua dan anggota KIP Aceh Tamiang, terhitung sejak putusan ini dibacakan; 3) Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melaksanakan putusan paling lama 7 hari sejak putusan ini dibacakan; 4) Memerintahkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan putusan ini,” ujar Ketua Sidang, Hedulito, dalam sidang yang disiarkan secara langsung melalui laman resmi Facebook DKPP RI.
Menanggapi keputusan tersebut, Ketua Lembaga Pemantauan Pemilu (LPP) Aceh Tamiang, Purnawirawan TNI Zulsyafri, menyatakan dukungannya terhadap langkah DKPP. “Putusan ini menjadi bukti bahwa setiap penyelenggara pemilu harus menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua KIP Aceh saat ini, Agusni AH, juga membenarkan pemberhentian Rita Afrianti. “Benar, DKPP telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada beliau,” katanya kepada wartawan.
Kasus ini bermula dari laporan seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRK Aceh Tamiang yang menuduh Rita Afrianti melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Dugaan pelanggaran bermula dari pertemuan yang terjadi pada 22 Februari 2024, ketika pelapor diajak oleh Caleg DPRK terpilih berinisial MJ ke rumah seorang berinisial HP. Kemudian mereka bertiga menuju rumah terlapor, RA, di Dusun Sedar, Kampung Sriwijaya, Kecamatan Kota Kualasimpang.
Menurut kuasa hukum pelapor, Sarwo Edi, dalam pertemuan tersebut terlapor diduga meminta uang sebesar Rp 200 juta untuk “menambah suara” pelapor melalui anggota di lapangan (PPK). “Permintaan itu jelas merupakan pelanggaran berat terhadap integritas penyelenggara pemilu,” ujar Sarwo Edi dalam pernyataannya pada 25 Agustus 2024 lalu.
Putusan DKPP ini diharapkan menjadi pelajaran penting bagi seluruh penyelenggara pemilu agar menjaga netralitas dan menjauhkan diri dari praktik yang mencederai demokrasi.