Jakarta | Tribuneindonesia.com,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) periode 2020-2024.
Penetapan ini dilakukan setelah KPK melakukan penyelidikan terkait proses pengadaan mesin EDC yang diduga sarat dengan kecurangan. Total anggaran untuk pengadaan mesin EDC ini mencapai Rp2,1 triliun, dengan rincian Rp942 miliar untuk skema beli putus dan Rp1,2 triliun untuk skema sewa. Selasa (15/07/25)
Diketahui, Lima tersangka yang ditetapkan adalah CBH (Wakil Direktur Utama BRI 2019-2024), IU (Direktur Digital BRI 2020-2021), DS (SEVP Manajemen Aktiva BRI 2020), EL (Direktur Utama PT PCS), dan RSK (Direktur Utama PT BIT).
Dalam proses pengadaan, diduga terjadi pengkondisian vendor dengan uji teknis yang tidak transparan dan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak sesuai. Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan diancam dengan hukuman pidana. KPK juga menemukan dugaan kerugian keuangan negara mencapai Rp744 miliar dalam kasus ini.
Selain itu, Pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di BRI diduga sarat penyimpangan dengan total anggaran mencapai Rp2,1 triliun.
Terdapat dua skema dalam pelaksanaannya, yakni pembelian langsung (beli putus) dan penyewaan. Pada skema beli putus yang berlangsung dari tahun 2020 hingga 2024, sebanyak 346.838 unit mesin EDC dibeli dengan nilai Rp942 miliar. Sementara itu, skema sewa melibatkan 200.067 unit dengan nilai mencapai Rp1,2 triliun.
Dalam pelaksanaannya, muncul dugaan bahwa pengadaan ini telah dikondisikan oleh sejumlah pihak. EL, bersama IU dan CBH, diduga bersepakat menjadikan EL sebagai vendor utama mesin EDC Android dengan melibatkan PT BIT. IU disebut-sebut mengarahkan proses uji teknis hanya untuk merek tertentu, yang pelaksanaannya pun tidak dilakukan secara terbuka.
Term of Reference (TOR) diduga disusun secara khusus untuk menguntungkan vendor tertentu, dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) disusun berdasarkan harga dari vendor yang telah dikondisikan menang, bukan berdasarkan harga resmi dari produsen.
Selain itu, dalam skema sewa, vendor yang ditunjuk ternyata mensubkontrakkan seluruh pengadaan kepada pihak lain tanpa seizin BRI.
Praktik tersebut memperkuat dugaan bahwa pengadaan ini sarat rekayasa demi keuntungan kelompok tertentu. Dari hasil penyelidikan awal, kerugian keuangan negara akibat pengondisian proyek pengadaan mesin EDC ini ditaksir mencapai Rp744 miliar.
Perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan mesin EDC di BRI terus mengungkap fakta-fakta baru. Salah satu tersangka, CBH, diduga menerima gratifikasi sebesar Rp525 juta dari EL sebagai bentuk imbalan atas kemenangan proyek tersebut. Pemberian ini disebut sebagai bagian dari kesepakatan yang terjadi di balik penunjukan vendor.
Tak hanya itu, praktik pemberian keuntungan pribadi juga melibatkan perusahaan penyedia perangkat, PT Verifone Indonesia. Perusahaan ini diduga memberikan fee kepada RSK sebesar Rp5.000 per unit setiap bulan. Bila diakumulasi sejak proyek berjalan hingga tahun 2024, total nilai fee tersebut mencapai Rp10,9 miliar.
Atas rangkaian perbuatan tersebut, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Selain itu, jeratan hukum diperkuat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana. Proses hukum terhadap para tersangka kini tengah berlanjut di bawah penanganan aparat penegak hukum. (*-Talia)