Aceh/Tribuneindonesia.com
Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tidak dapat lagi dipandang sebagai bencana alam semata. Peristiwa ini adalah manifestasi nyata dari kegagalan tata kelola lingkungan yang telah berlangsung lama—di mana hutan-hutan di luar Pulau Jawa dieksploitasi secara masif, sementara korban kemanusiaannya hampir seluruhnya berasal dari wilayah pinggiran kekuasaan.
Selama puluhan tahun, praktik penebangan hutan ilegal dan perusakan kawasan lindung di berbagai wilayah luar Jawa berlangsung di bawah bayang-bayang kepentingan politik dan ekonomi yang terpusat di Pulau Jawa. Izin konsesi, kebijakan tata ruang, serta keputusan strategis terkait sumber daya alam umumnya dirancang dan dikendalikan dari pusat kekuasaan negara. Namun, hutan yang dikorbankan justru berada di Aceh, Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
Akibatnya kini terlihat jelas. Komunitas lokal di Aceh dan berbagai wilayah di Pulau Sumatra menjadi korban banjir, longsor, hilangnya mata pencaharian, serta meningkatnya kemiskinan struktural. Sungai-sungai meluap bukan semata karena curah hujan tinggi, melainkan karena hutan yang seharusnya menjadi benteng ekologis telah digunduli atas nama pembangunan.
Pola ini mencerminkan ketimpangan struktural yang serius:
sumber daya alam diekstraksi dari daerah, sementara risiko, bencana, dan penderitaan ditanggung oleh rakyat di luar pusat kekuasaan.
Ironisnya, di tengah skala kerusakan yang luas dan penderitaan masyarakat yang mendalam, pemerintah pusat justru menunjukkan sikap enggan membuka ruang bagi bantuan dan pendampingan internasional. Penolakan terhadap bantuan kemanusiaan dan teknis dari luar negeri menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi, akuntabilitas, dan kesiapan negara untuk dievaluasi secara independen dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Peringatan dari Masyarakat Sipil
Ketua Umum Relawan Peduli Rakyat Lintas Batas, Arizal Mahdi, mengingatkan bahwa bencana ekologis tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan langsung dengan keputusan politik dan kebijakan negara.
> “Ketika hutan di luar Pulau Jawa diperlakukan seolah-olah tidak bernilai, dan perusakannya dibiarkan, maka banjir bukan lagi sebuah kebetulan. Ia adalah akibat. Menolak bantuan internasional di tengah penderitaan rakyat hanya akan memperdalam krisis kepercayaan dan memperpanjang luka kemanusiaan.”
Organisasi masyarakat sipil menilai, tanpa langkah tegas untuk memutus impunitas jaringan penebangan ilegal, memperbaiki tata kelola kehutanan, serta mendesentralisasi pengambilan keputusan lingkungan, bencana serupa akan terus berulang. Perubahan iklim memang memperparah dampak, tetapi kegagalan tata kelola adalah faktor pengganda utama.
Lebih dari Sekadar Banjir
Krisis ini bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga persoalan keadilan nasional dan tanggung jawab moral negara. Selama keuntungan dari perusakan hutan mengalir ke elit ekonomi-politik yang berpusat di Pulau Jawa, sementara korban jiwa, pengungsian, dan kehancuran sosial terjadi di luar Jawa, maka narasi pembangunan nasional akan selalu timpang dan rapuh.
Banjir di Aceh dan Sumatra seharusnya menjadi peringatan keras, tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga bagi komunitas internasional. Kerusakan lingkungan di Indonesia berdampak langsung pada stabilitas iklim global, keanekaragaman hayati dunia, dan perlindungan hak asasi manusia.
Menutup mata, menyangkal fakta, dan menolak bantuan tidak akan menghentikan air untuk kembali naik.(mahdi)
















