Oleh: URIESSAMADIN, S.Hut
(Rakyat Aceh Bangkit / Global Aceh Awakening – Aceh Tengah)
TribuneIndonesia.com
Aceh adalah tanah dengan sejarah panjang, darah perjuangan, dan kekayaan alam yang tak ternilai. Namun hari ini, Aceh seolah diperlakukan sebagai provinsi ompong: punya hutan luas, punya status khusus, tapi tak berdaya mengelolanya.
Kasus penunjukan seorang dokter menjadi Kepala UPTD KPH VIII di Gayo Lues dan Aceh Tenggara adalah cermin nyata. Bagaimana mungkin urusan kehutanan yang seharusnya diisi kader profesional justru diserahkan kepada orang di luar bidangnya? Ini bukan sekadar salah tempat, melainkan pelecehan terhadap profesionalisme dan pengkhianatan terhadap putra-putri kehutanan Aceh yang telah lama menjaga hutan dengan darah dan keringatnya.
Sejak awal, MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menegaskan bahwa Aceh berhak mengatur urusan kehutanan sendiri. Namun, hak itu perlahan dilucuti. Melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), Jakarta kembali mengikat Aceh. Semua kebijakan hutan kini diatur dari Manggala Wanabakti. Aceh seakan diperlakukan sama dengan provinsi biasa, padahal statusnya jelas berbeda.
Siapa yang diuntungkan dari situasi ini? Tentu bukan rakyat Aceh. Bukan pula pemerintah Aceh. Yang paling diuntungkan adalah pengusaha, mafia kayu, dan jaringan yang dekat dengan pusat. Hutan digunduli, kayu keluar, namun rakyat Aceh tetap hidup dalam listrik padam, jalan rusak, ekonomi lumpuh, dan lingkungan hancur.
Ironisnya, pemerintah Aceh justru memilih diam. Gubernur tidak bersuara lantang, DLHK tunduk begitu saja pada aturan pusat. Jika ini terus terjadi, Aceh kehilangan marwah dan hanya jadi penonton di tanah sendiri. Aceh mancan ompong sebutan ini makin terasa pas.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, UUCK tidak boleh berlaku di Aceh. UUPA harus jadi payung hukum tertinggi. Kedua, hentikan penempatan pejabat di luar bidangnya. Kehutanan harus diurus oleh ahli kehutanan, bukan oleh titipan politik. Ketiga, Aceh harus berani ribut di pusat. Tanpa suara keras, Aceh hanya akan jadi provinsi kaya sumber daya tapi miskin martabat.
Hari ini, rakyat Aceh dituntut untuk tidak lagi menutup mata. Status khusus bukan pajangan. Hutan bukan sekadar kayu, melainkan masa depan generasi. Jika pemerintah terus diam, maka rakyatlah yang harus bangkit menyuarakan haknya.
Aceh pernah besar, berdiri sebagai bangsa yang berdaulat. Jangan biarkan kini Aceh menjadi kecil karena dipimpin dengan mental boneka. (##)

















