Oleh: Chaidir Toweren, SE., KJE
Aceh | TribuneIndonesia.com
Isu pemekaran Provinsi Aceh Lauser Antara (ALA) kembali bergeming. Entah ini hanya gemuruh sesaat yang timbul karena musim politik lima tahunan, atau justru inilah titik kulminasi dari perjuangan panjang wilayah tengah Aceh yang selama ini merasa kurang terwakili.
Provinsi ALA, yang mencakup wilayah tengah seperti Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Singkil adalah cerminan kegelisahan lama. Kegelisahan tentang kesenjangan pembangunan, keterbatasan akses, dan minimnya suara dalam pengambilan keputusan strategis di tingkat provinsi.
Istilah “ingin menyapih diri dari sang ibu” barangkali terdengar puitis, tetapi sesungguhnya itu adalah gambaran konkret dari kebutuhan untuk tumbuh dan mandiri. Daerah ini merasa telah cukup lama menjadi “anak tiri” dalam pembangunan. Padahal, mereka menyumbang sumber daya alam yang tak sedikit: hutan, air, energi, hingga potensi pariwisata yang luar biasa.
Namun, benarkah ini saat yang tepat? Atau kita sedang terjebak pada “latah politik” yang sering muncul ketika pergantian kekuasaan menjelang?
Kebutuhan atau Ambisi?
Perjuangan pemekaran harus berangkat dari kebutuhan objektif: pelayanan publik yang lebih dekat, birokrasi yang lebih efektif, hingga pemanfaatan potensi daerah secara optimal. Tapi jika itu sekadar ambisi elite lokal tanpa rencana matang, maka pemekaran hanya akan menambah beban administratif dan membelah solidaritas Aceh yang telah susah payah dibangun pasca-konflik.
Kita tak bisa menutup mata bahwa desentralisasi belum selalu berjalan mulus. Beberapa daerah otonom baru (DOB) di Indonesia justru menjadi beban fiskal negara, bukan solusi. Maka, perjuangan ALA harus disertai dengan desain kelembagaan, perencanaan fiskal, dan tata kelola pemerintahan yang jauh lebih baik.
Identitas yang Belum Terjawab
Wilayah tengah Aceh punya kekayaan budaya yang khas, Gayo dan Alas, misalnya, yang selama ini merasa tenggelam dalam hegemoni budaya pesisir timur dan barat. Aspirasi ALA juga adalah perjuangan akan pengakuan identitas, bukan hanya administratif. Ini yang tidak boleh diremehkan.
Namun, identitas tidak akan cukup kuat jika tidak dibarengi dengan kapasitas. Ingin dewasa dan mandiri adalah cita-cita mulia, tetapi kemandirian juga harus dibuktikan dengan kesiapan struktural, ekonomi, dan sumber daya manusia.
Perjuangan ALA bukan persoalan suka atau tidak suka pada Aceh induk. Ini adalah refleksi dari kebutuhan akan perbaikan. Jika aspirasi ini dimaknai sebagai pecut untuk Aceh agar lebih inklusif dan adil, maka baiklah ia hadir. Tapi jika ia sekadar pelarian dari kegagalan elite daerah menjalin kolaborasi dan dialog konstruktif, maka ALA akan kembali jadi wacana musiman yang mati sebelum tumbuh.
Sekaranglah saatnya: bukan sekadar bersuara lebih keras, tetapi membangun argumen yang lebih cerdas, agar apa yang selama ini telah dicita-citakan bisa terkabul dengan baik dengan tidak mengorbankan rakyat demi sebuah kepentingan dan ambisi. Tetapi murni untuk kemandirian dan kemajuan daerah yang dimekarkan nantinya.
Penulis : pemerhati sosial dan jurnalis