Medan | TribuneIndonesia.com – Empat hari sudah berlalu sejak kobaran api meluluhlantakkan kawasan padat penduduk Asrama Kobek di Jalan Putri Hijau, Kelurahan Kesawan, Kecamatan Medan Barat. Namun luka dan kepedihan yang ditinggalkan kebakaran hebat itu masih sangat terasa. Di halaman Kantor Lurah Kesawan, ratusan jiwa kini menggantungkan harapan di bawah tenda-tenda darurat, menanti keajaiban yang entah kapan datang.
Lurah Kesawan, Rahmat Affandi Nasution, mengungkapkan bahwa hingga Rabu (23/7/2025), sebanyak 31 rumah hangus terbakar, menyisakan 40 Kepala Keluarga (KK) dan 338 jiwa yang kini terpaksa mengungsi.
“Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Itu semua berkat evakuasi cepat oleh warga dan aparat setempat,” ucapnya dengan nada lega yang nyaris tenggelam dalam suasana duka.
Namun di balik syukur itu, tersimpan kisah-kisah pilu yang membekas. Salah satunya datang dari Budi (50), seorang kepala keluarga yang kini hanya bisa menatap puing-puing bekas rumahnya dari kejauhan.
“Minggu pagi itu, sekitar jam tujuh, api sudah membesar. Suasana panik… semua orang lari menyelamatkan diri. Saya sempat mau ambil motor, tapi gak sempat lagi. Anak saya nangis. Yang terpikir cuma berkas sekolahnya… tapi karena panik, satu pun gak sempat kami bawa,” kata Budi, menahan tangis sambil memalingkan wajah.
Api dikabarkan mulai menjalar sekitar pukul 07.00 WIB pada Minggu (20/7), melahap gang-gang sempit yang dipenuhi rumah kayu berdempetan. Dalam sekejap, si jago merah menguasai pemukiman, menyisakan abu dan kenangan yang terbakar.
Sejak hari pertama, berbagai pihak langsung turun tangan. Pemerintah Kota Medan, Polrestabes Medan, Dinas Sosial, hingga BPBD bergerak cepat menyalurkan bantuan darurat.
“Dinas Sosial memberikan konsumsi harian dan layanan dasar bagi para pengungsi. Bantuan ini akan terus disalurkan setidaknya hingga hari Jumat,” jelas Lurah Rahmat.
Meski bantuan terus berdatangan, luka batin para korban belum bisa terobati. Tak sedikit anak-anak yang masih tampak linglung, kehilangan semangat bermain. Ibu-ibu hanya duduk diam memeluk tas plastik berisi sisa pakaian, sementara para ayah sibuk menatap kosong ke arah rumah yang kini hanya tinggal arang.
Pemerintah masih terus melakukan pendataan kerugian material. Garis polisi masih membentang di area kebakaran, menandai lokasi yang kini tak lagi bisa disebut “rumah”. Wacana relokasi dan pembangunan kembali mulai dibicarakan, tapi semuanya masih sebatas rencana sementara para korban menunggu dalam ketidakpastian.
Musibah ini menjadi cambuk keras bahwa kawasan padat penduduk amat rentan terhadap bencana besar, terutama kebakaran. Namun dari reruntuhan, terlihat pula cahaya harapan: gotong royong yang kembali hidup, kepedulian yang menyala dari banyak arah, dan semangat bertahan yang tak padam meski kehilangan segalanya.
“Yang penting kami selamat,” ucap Budi lirih, “Tapi kami gak tahu ke mana harus pulang sekarang…”
Ilham TribuneIndonesia.com

















