TribuneIndonesia.com
Di tengah arus kehidupan modern yang semakin materialistis, uang sering kali menjadi ukuran keberhasilan seseorang. Dengan uang, penampilan bisa berubah drastis: pakaian lebih rapi, kendaraan lebih mewah, dan gaya hidup tampak naik beberapa tingkat. Semua itu sah-sah saja karena setiap orang berhak menikmati hasil kerja kerasnya.
Namun, ada satu hal yang tak boleh ikut berubah, bahasa dan sopan santun.
Fenomena yang kian sering terlihat adalah perubahan sikap seseorang setelah kondisi ekonominya membaik. Nada bicara yang sebelumnya lembut perlahan berubah menjadi tinggi, kasar, atau meremehkan. Bahasa yang dulu penuh hormat mendadak bernada arogan. Sopan santun yang dulu dijaga kini dianggap tidak lagi penting, seolah keberlimpahan materi memberi lisensi untuk bersikap semena-mena.
Padahal, yang menentukan derajat seseorang bukanlah tebalnya dompet, melainkan keindahan tutur kata dan kerendahan hati. Uang mungkin bisa membeli pakaian bagus, tetapi tidak bisa membeli akhlak. Ia bisa membangun rumah megah, tetapi tidak dapat membeli penghormatan tulus dari orang lain. Sikap dan bahasa yang baik justru menjadi identitas abadi yang jauh lebih bernilai daripada harta.
Dalam banyak kasus, orang yang tiba-tiba berubah setelah memiliki uang sebenarnya sedang kehilangan sesuatu yang lebih penting dari materi, rasa syukur dan kesadaran diri. Mereka lupa bahwa hidup berputar, dan bahwa ketinggian budi jauh lebih berharga daripada ketinggian harta.
Karena itu, menjaga bahasa dan sopan santun adalah kewajiban moral bagi siapa pun, apa pun status ekonominya. Semewah apa pun penampilan seseorang, bila tutur katanya buruk, harga dirinya jatuh di mata masyarakat. Sebaliknya, orang yang sederhana namun santun akan selalu dihormati.
Pada akhirnya, uang memang bisa mengubah penampilanmu. Tapi jangan pernah biarkan ia mengubah siapa dirimu sebenarnya. Tutur kata yang baik dan sikap yang santun adalah kekayaan yang tidak akan lekang oleh waktu.
Oleh : Chaidir Toweren















