TribuneIndonesia.com
Seratus hari pertama kepemimpinan Bupati Tagore seharusnya menjadi panggung awal untuk menunjukkan arah yang jelas dan konsisten dalam mewujudkan visi-misi yang pernah dikampanyekan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, serangkaian kebijakan kontroversial membuat masyarakat mulai mempertanyakan arah pemerintahan yang baru ini.
Kebijakan mutasi pejabat eselon III dan IV menuai kritik tajam. Bukan sekadar karena waktu pelaksanaannya yang tergesa-gesa, namun juga karena muncul isu permintaan pengunduran diri secara tersirat terhadap sejumlah pejabat. Proses mutasi tersebut dianggap tidak mengedepankan prinsip kompetensi dan transparansi. Banyak yang menilai mutasi itu dilakukan berdasarkan kepentingan politik semata, bukan kebutuhan organisasi pemerintahan yang profesional.
Tak kalah mengkhawatirkan, isu terkait pembayaran tanah untuk sarana pendidikan yang disebut-sebut disalurkan ke rekening pribadi Bupati menjadi bola panas di tengah masyarakat. Meski hal ini masih berupa dugaan, publik berhak mengetahui kebenarannya secara terbuka. Transparansi dalam pengelolaan keuangan publik adalah keniscayaan, apalagi menyangkut aset dan hak masyarakat luas.
Lebih memperkeruh keadaan, dalam berbagai kesempatan Bupati Tagore sering kali melontarkan kritik terhadap pemerintahan sebelumnya. Sikap saling menyalahkan antarpejabat ini tidak menunjukkan kedewasaan dalam memimpin. Seharusnya pemimpin baru datang dengan semangat kolaborasi dan perbaikan, bukan membawa sentimen masa lalu yang memperlebar jurang perbedaan.
Isu lain yang turut mencuat dan mengundang keprihatinan adalah keterlibatan putri Bupati Tagore dalam seleksi calon Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Bener Meriah. Meski tidak menyalahi aturan secara teknis, hal ini menimbulkan persepsi kuat tentang nepotisme. Dalam konteks birokrasi yang menuntut profesionalisme, hal-hal seperti ini bisa mengikis kepercayaan masyarakat.
Tidak hanya itu, publik juga resah dengan isu “pembisik” atau orang-orang dekat yang disebut-sebut memiliki pengaruh besar terhadap keputusan Bupati. Pemimpin harus mendengarkan banyak pihak, bukan hanya segelintir orang yang mungkin membawa kepentingan pribadi. Pemerintahan yang baik harus berpijak pada musyawarah dan prinsip keterbukaan.
Yang perlu digarisbawahi oleh Bupati Tagore adalah kenyataan bahwa masyarakat memilihnya kembali bukan semata karena retorika politik, melainkan karena rindu akan kinerja beliau di masa lalu, saat menjabat sebagai Bupati definitif pertama Kabupaten Bener Meriah. Kepercayaan yang diberikan ini adalah amanah, bukan sekadar kemenangan politik. Rakyat berharap pada pengalaman dan ketegasan yang dulu pernah membawa kemajuan bagi daerah ini.
Seratus hari memang belum cukup untuk membangun segalanya, tapi cukup untuk menunjukkan arah dan niat. Jika yang terlihat justru kebijakan kontroversial, sikap saling menyalahkan, dan potensi konflik kepentingan, maka publik berhak mempertanyakan: ke mana sebenarnya arah pemerintahan ini?
Kini saatnya Bupati Tagore kembali ke jalur yang dulu membuat rakyat percaya. Menjadi pemimpin yang melayani, bukan memperkeruh suasana. Menyatukan, bukan memecah belah. Rakyat menanti, apakah rindu itu akan berbalas, atau justru berubah menjadi kecewa yang dalam.
Oleh : Wen Bensu, Bener Meriah 9 Juni 2025.