Jakarta | Tribuneindonesia.com,
Dalam rangka membangun integritas di berbagai sektor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendorong upaya pencegahan korupsi dan penguatan sistem antikorupsi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN). Rabu (21/05/25).
Sebagai lembaga independen, KPK memiliki peran penting dalam mewujudkan tujuan ini. Kepala Satuan Tugas 4 pada Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) KPK, Ipi Maryati Kuding, Selasa (20/05) menekankan pentingnya pencegahan korupsi dan penguatan sistem antikorupsi di BUMN dalam acara sosialisasi yang digelar secara daring di PT Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB).
“KPK mendorong sektor usaha untuk berperan aktif mencegah korupsi, yang salah satunya dapat dilakukan melalui edukasi terkait internalisasi integritas dan nilai-nilai antikorupsi, khususnya bagi setiap individu pelaku usaha. KPK juga mendorong terciptanya lingkungan usaha antikorupsi yang kondusif,”
tutur Ipi.
Direktur Utama PT Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Ngurah Wirawan, menyambut baik dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menumbuhkan semangat dan kesadaran integritas di sektor usaha.
Ia menekankan bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dengan regulasi, norma, atau etika yang berlaku, terutama terkait korupsi dan gratifikasi.
Oleh karena itu, dukungan KPK sangat diharapkan untuk meningkatkan kesadaran dan integritas di PT KITB.
“Sebagai pemimpin perusahaan, saya harus bisa menjadi role model bagi seluruh karyawan saya. Tidak hanya itu, tapi juga menjadi contoh bagi para mitra yang terdiri dari kontraktor, konsultan, vendor, hingga investor. Semangat antikorupsi ini perlu terus dibawa untuk manajemen perusahaan ke depannya sebagai nilai-nilai perusahaan,”
ungkap Ngurah.
- Titik Rawan di Kawasan Ekonomi
Dalam pemaparannya, Ipi menyampaikan bahwa terdapat sejumlah titik rawan korupsi pada PT KITB, yang kini telah bertransformasi dari kawasan industri terpadu menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) dan fokus pada sektor manufaktur.
Ipi Maryati Kuding, Kepala Satuan Tugas 4 pada Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) KPK, menyampaikan bahwa terdapat beberapa titik rawan korupsi di PT Kawasan Industri Terpadu Batang (PT KITB).
Hal ini disampaikan setelah PT KITB melakukan transformasi menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan fokus pada sektor manufaktur. Identifikasi titik rawan korupsi ini menjadi penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di PT KITB.
“Memang ada beberapa titik rawan korupsi dan gratifikasi di kawasan ekonomi. Misalnya, penetapan lokasi KEK, penunjukan Badan Usaha Pembangunan dan Pengelola (BUPP) KEK, pemberian insentif pajak dan nonpajak, perizinan berusaha dan operasional, pengadaan infrastruktur, pemanfaatan lahan, perpanjangan dan pengawasan dan evaluasi kinerja KEK, penanaman modal asing, serta hubungan pemerintah dan swasta,”
ucap Ipi.
Menurut Ipi, modus korupsi di kawasan tersebut seringkali melibatkan praktik suap dan gratifikasi, baik dalam bentuk uang maupun fasilitas, untuk memperlancar proses tertentu.
Selain itu, benturan kepentingan juga kerap terjadi, seperti manipulasi dokumen studi kelayakan untuk membuat lokasi tertentu terlihat layak, sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kepentingan pribadi.
“Demikian juga dalam penunjukan BUPP KEK tanpa proses yang terbuka serta tidak transparan, rawan memicu nepotisme dan konflik kepentingan. Selain itu, proses pengadaan infrastruktur yang tidak sesuai proses, adanya tender fiktif, perubahan peruntukan lahan tanpa prosedur yang sah, hingga investasi fiktif perusahaan asing,”
kata Ipi.
- Pengendalian Gratifikasi Jadi Instrumen Strategis
Dalam pengelolaan aset BUMN, Ipi menekankan pentingnya menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN Pasal 62A dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/03/2023.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi transparansi, akuntabilitas, kemanfaatan, kemandirian, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Untuk mendeteksi penyimpangan di sektor usaha, Ipi menyebutkan beberapa instrumen penting, antara lain: Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) bersama KPK, Konsultasi dengan Ahli Pembangun Integritas (API), Penggunaan teknologi geospasial, E-procurement dan e-contracting, Big data analytics, Whistleblowing system, juga Kode etik perusahaan.
Dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik dan menggunakan instrumen-instrumen tersebut, diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset BUMN.
Salah satu instrumen yang dianggap krusial adalah PPG, terutama mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang gratifikasi, minimnya pelaporan, serta kurangnya sosok pemimpin yang menjadi teladan.
“Sebagian orang masih menganggap gratifikasi itu sebagai rezeki. Gratifikasi harus dilaporkan selambat-lambatnya 30 hari ke KPK jika memang berhubungan dengan jabatan, tugas, atau kewajiban. Karenanya, KPK juga mendorong kementerian/lembaga, BUMN, BUMD, serta instansi lainnya agar memiliki PPG karena ini sangat penting,”
tambah Ipi.
- WBS untuk Perlindungan Pelapor
Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 menunjukkan bahwa 4,95% responden pernah mendengar adanya praktik pemberian uang, barang, atau fasilitas kepada pegawai dari pengguna layanan dalam setahun terakhir.
Namun, sekitar 29,94% responden merasa takut untuk melaporkan korupsi karena khawatir akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan, seperti pengucilan, sanksi, mutasi, atau hambatan dalam karier.
“Dalam melaporkan praktik-praktik kecurangan, tidak jarang perlakuan terhadap pelapor justru tidak mencerminkan perlakuan yang adil. Tapi, justru ada risiko atau respons negatif terhadap para pelapor,”
kata Ipi.
Untuk mengatasi hal ini, KPK terus mendorong penguatan Whistleblowing System (WBS) yang andal, agar masyarakat dan pegawai dapat melapor tanpa takut akan konsekuensi negatif.
Pembangunan WBS ini bertumpu pada lima pilar utama: komitmen pimpinan tertinggi, kebijakan yang mendukung, budaya organisasi yang sehat, sistem aplikasi WBS yang terintegrasi, serta pengembangan sistem secara berkelanjutan. (*-Talia)