Aceh Utara, TribuneIndonesia.com
Konflik lahan sawit di Aceh Utara tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga lingkungan. Perlu adanya upaya serius dari semua pihak untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan, serta mencegah terjadinya konflik yang lebih besar.
Penyelesaian sengketa tanah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Konflik lahan sawit yang terjadi di Desa Buket Linteung penyebab utama adalah ketidakjelasan status hukum tanah. Status tanah yang tidak tercatat secara sah atau tidak memiliki sertifikat resmi, maka menjadi titik awal perselisihan. Kemudian Pengalihan tanah kepada pihak lain yang tidak sah, seperti jual beli tanah yang tidak melibatkan notaris atau tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.”masyarakat sedang menanti kepastian hukum yang jelas”.
kasus sengketa lahan sawit yang terlibat antara warga Desa Buket Linteung dan salah seorang warga Desa Seureke yang bersengketa mengenai kepemilikan lahan kebun sawit. Dikutip dari berbagai sumber menyebutkan bahwa kustiono warga Desa Seureke mengaku sebagai pemilik tunggal yang mengklain lahan sawit seluas 110 Ha miliknya, yang beli dari seseorang bernama Sudikan warga Desa Seureke yang juga ketua KUD Sejahtera Mandiri. Dan yang lebih aneh lagi dalam sertifikat yang dipegang oleh kuswanto di paket 15 beralamat Desa Seureke bukan Desa Buket Linteung.
Seorang warga Buket Linteung, yang tak inggin namanya di tulis, menyebutkan, sengketa lahan sawit ini sedang bersengketa di Pengadilan Negeri Lhoksukon, sudah 4 kali mengikuti persidangan.” Sebutnya.
Yang menjadi alasan dan materi gugatan adalah, kustiono warga Desa Seureke sebagai pemilik tunggal yang mengklain lahan sawit seluas 110 Ha miliknya, dan sebagai pemengang sertifikat sah akan tanah tersebut. Yang menjadi masalah adalah dalam sertifikat tersebut beralamat Desa Seureke,bukan Buket Linteung, makanya ini perlu penjelasan”jelasnya.
Sedikit mengali sejarahnya tanah ini, adalah tanah adat masyarakat Buket Linteung, dan telah dikelola secara turun menurun ke anak cucu.dan status desa Buket Linteung telah ada dari pada Program Translok yang dicanang Pemerintah.
Sekitar tahun 1992 saat komplik DOM ( Daerah Operasi Militer ) di Aceh. seluruh masyarakat Buket Linteung dengan keras menolak tanah adat mereka di masukkan didalam Program PIR ( Pekebunan Inti Rakyat) yang dikelola KUD Sejahtera Mandiri. Yang aneh lagi di lokasi tanah paket 15 tersebut tidak ada tanaman sawit milik KUD, tanaman keras seperti durian, pinang coklat,rambu, kemiri dan jeruk, dan tanaman sawit milik warga Buket Linteung, merupakan bantuan bibit sawit dari Dinas Perkebunan Aceh Utara, milik warga buket Linteung.
Di tahun 2019 masuklah program Replanting dari KUD mandiri Sejahtera, disinilah seluruh masyarakat pemengang hak tanah adat mengetahui bahwa lahan seluas 110 Ha telah di rampas oleh pihak KUD, sehingga pada saat terjadilah ketegangan ( komplik) antara KUD dengan masyarakat pemilik tanah adat. sehingga pihak KUD menurunkan APH ( aparat penegak hukum), dalam ketengangan pada saat sempat terjadinya letusan senjata api di lokasi PIR tersebut untuk menghalau ketegangan.
Dalam kasus ini tercium adanya indikasi korupsi atas penunjukan lahan untuk Program replanting di tahun 2018 dimana lahan tersebut bukan lahan yang sudah ada pohon sawitnya indikasi korupsi yg dilakukan oleh Sudikan selaku ketua KUD Sejahtera Mandiri yang mengajukan program Replanting dan ke dinas perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara yang melaksanakan program tersebut. Diduga KUD dan dinas Perkebunan dan kehutanan Aceh Utara telah melakukan kecurangan dengan mengorbankan masyarakat desa buket Linteung di program replanting. Karena Program replanting diatur dalam peraturan perundangan, seperti Permentan No. 18 Tahun 2016 dan Permentan No. 3 Tahun 2022, yang mencakup persyaratan teknis, administrasi, dan kelembagaan.
Aroma korupsinya adalah program replanting melalui pembiayaan Negara atas replanting per hektare sekitar 40 juta rupiah, pada hal secara aturan dan pengertian replanting harus dilakukan dilahan yg sudah ada sawitnya, bukan menebang batang durian atau pun pohon lain.
Akibat konplik sengketa lahan pihak Muspika Kecamatan Langkahan telah menetatapkan Tapal Batas, lahan yang bersengketa masuk dalam wilayah administrasi desa buket Linteung sesuai dengan batas lama sebelum terbentuknya Translok desa Serke.
Sumber Menambahkan Meskipun proses sengketa lahan masih berlangsung di pengadikan Negeri Lhok Sukon, penjarahan panen buah sawit masih terus dilakukan oleh pihak Kustiono dan Kroni-kroninya, dan sampai Pada sabtu 21/06/2025, masih terus dilakukan sampai saat ini.makanya masalah kita ajukan kepengadilan supaya kami masyarakat Buket Linteung mendapat keadilan karena hak kami masyarakat telah dirampas oleh oknum Mafia Tanah “ungkapnya
Untuk mengali informasi yabg akurat media sempat menjambangi kediaman Kustiono, dan sempat terjadi ketengangan yang dilakukan oleh anaknya yang sedikit arogan mengaku sebagai Bhabinkamtibmas anggota Polsek Langkahan.
Dikutip dari berbagai sumber menjelaskan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), hak milik atas tanah adalah hak yang paling kuat dan memberikan perlindungan hukum yang sah bagi pemiliknya.
Pasal 20 Ayat (1) UUPA menegaskan bahwa pemilik hak milik memiliki hak penuh untuk menguasai dan menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini, pemilik tanah memiliki hak untuk mempertahankan tanah mereka dari klaim pihak lain yang tidak sah.
Dan sengketa lahan yang terjadi diantara warga Desa Buket Linteung dan salah seorang warga Desa Seureke dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), memiliki kewenangan dalam penanganan dan penyelesaian sengketa tanah, baik sebagai mediator maupun pihak yang terlibat dalam proses peradilan.
BPN juga bertanggung jawab dalam penerbitan produk hukum terkait pertanahan, yang bisa menjadi sumber sengketa jika ada ketidaksesuaian atau kesalahan administrasi.(ssl)