TribuneIndonesia.com
Dunia pendidikan Indonesia sedang berada di persimpangan yang mengkhawatirkan. Antara niat tulus mendidik dan tuduhan melakukan kekerasan, para pendidik kini berdiri di posisi yang paling rentan. Ketika kasih yang menegur disamakan dengan kekerasan, maka sesungguhnya kita sedang menggerogoti fondasi pendidikan itu sendiri.
Belum lama ini, seorang kepala sekolah harus menanggung luka secara fisik maupun batin hanya karena mencoba menegakkan disiplin. Ia ingin muridnya patuh pada aturan, datang tepat waktu, dan belajar dengan serius. Namun, langkah tegas itu justru berujung pada amarah, tuduhan, bahkan laporan ke aparat hukum. Kasus seperti ini bukan lagi peristiwa tunggal. Di banyak daerah, guru dan kepala sekolah kini berjalan di atas garis tipis antara “mendidik dengan tegas” dan “dituduh berbuat kasar”.
Pertanyaan besar pun muncul: ke mana arah pendidikan kita?
Apakah sekolah masih menjadi tempat untuk membentuk karakter dan menanamkan nilai, atau hanya sekadar tempat mengumpulkan nilai ujian dan memenuhi administrasi?
Kasih yang Menegur Kini Dianggap Melukai
Dalam pandangan klasik, guru adalah orang tua kedua. Teguran seorang guru adalah bentuk kasih sayang yang ingin membentuk kepribadian. Dulu, ketika guru menegur, siswa menunduk dan merenung. Kini, ketika guru menegur, siswa melawan dan orang tua langsung melapor.
Inilah potret perubahan zaman yang tragis. Kita mulai kehilangan kemampuan membedakan antara niat mendidik dengan niat melukai. Semua yang keras dianggap salah, semua yang lembut dianggap benar. Padahal dalam pendidikan, tidak ada pembentukan karakter tanpa ketegasan. Tidak ada disiplin tanpa konsekuensi.
Sebuah masyarakat yang terlalu sensitif terhadap teguran, lambat laun akan tumbuh menjadi generasi yang rapuh mudah tersinggung, tidak tahan dikritik, dan alergi terhadap disiplin.
Ketika Guru Takut untuk Mendidik
Banyak guru kini memilih diam. Mereka enggan bersikap tegas karena takut viral, takut dilaporkan, takut dicap sebagai pelaku kekerasan. Padahal, diamnya guru adalah tanda awal runtuhnya pendidikan.
Ketika guru kehilangan keberanian, murid kehilangan arah.
Ketika kepala sekolah takut menegur, maka aturan kehilangan makna.
Dan ketika disiplin dianggap kekerasan, maka kasih kehilangan roh pendidikannya.
Kita seolah sedang menonton kemunduran moral dalam sistem pendidikan yang ironis. Guru yang seharusnya dihormati, kini sering diperlakukan seolah musuh. Setiap tindakan diperiksa dengan kacamata hukum, bukan dengan kearifan pendidikan. Akibatnya, ruang kelas menjadi tempat yang dingin penuh ketakutan, bukan lagi tempat pembentukan karakter.
Kekacauan Persepsi dan Hancurnya Wibawa Sekolah
Sumber masalahnya adalah pergeseran persepsi masyarakat. Banyak orang tua kini tidak lagi mempercayai sekolah. Mereka melihat pendidikan semata dari sisi akademik, bukan moral. Padahal, membentuk manusia tidak cukup dengan ilmu, tapi juga perlu karakter.
Ketika wibawa guru dan kepala sekolah hancur, yang runtuh bukan sekadar institusi, tetapi nilai-nilai sosial yang menopang bangsa ini. Dulu, guru dihormati tanpa syarat. Kini, mereka dipertanyakan, bahkan dicurigai.
Media sosial memperparah keadaan. Setiap peristiwa kecil di sekolah dengan mudah menjadi bahan konsumsi publik. Tanpa tabayun, tanpa klarifikasi, tanpa konteks. Dunia digital memberi ruang bagi setiap emosi, tapi meniadakan ruang untuk pemahaman. Akibatnya, reputasi sekolah bisa rusak hanya karena satu video berdurasi 10 detik yang belum tentu menggambarkan kebenaran sesungguhnya.
Pendidikan Tanpa Tegas Akan Melahirkan Generasi Lemah
Mari kita jujur.
Apakah anak-anak kita siap menghadapi dunia yang keras jika sejak dini mereka tidak pernah ditempa oleh teguran dan disiplin?
Apakah kita ingin membentuk generasi yang cerdas di atas kertas, tapi lemah menghadapi tekanan hidup?
Pendidikan sejati bukan hanya tentang kecerdasan intelektual, tapi juga tentang keteguhan hati dan karakter yang kuat. Dan karakter itu tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari pembelajaran termasuk dari teguran dan ketegasan.
Namun kini, setiap upaya pendisiplinan sering dituduh sebagai kekerasan. Padahal, mendidik tanpa disiplin sama halnya seperti berlayar tanpa kompas. Kita kehilangan arah, kehilangan otoritas, dan kehilangan masa depan.
Kembalikan Martabat Pendidik
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus duduk bersama untuk menyusun ulang pemahaman tentang batas antara disiplin dan kekerasan. Guru tidak boleh diserang ketika menjalankan tugas moralnya. Tetapi juga, guru harus dibekali dengan pelatihan etik dan komunikasi agar tegurannya tetap dalam koridor kemanusiaan.
Yang paling penting, orang tua harus kembali mempercayai sekolah. Pendidikan adalah kerja bersama antara rumah, sekolah, dan lingkungan. Tidak boleh ada kecurigaan satu sama lain. Karena tanpa kepercayaan, pendidikan hanya akan menjadi formalitas tanpa ruh.
Kita harus berani berkata: menegur bukan kekerasan, mendisiplinkan bukan kebencian. Sebab kasih yang sejati kadang datang dalam bentuk teguran yang keras, tapi bermakna.
Jika hari ini seorang kepala sekolah terluka karena ingin menegakkan disiplin, itu bukan semata luka pribadi. Itu adalah luka bagi seluruh dunia pendidikan kita. Luka yang menandakan betapa kaburnya batas antara kasih dan kekerasan dalam masyarakat yang kehilangan arah moral.
Dan bila kita tidak segera memperbaikinya, jangan salahkan siapa-siapa jika kelak kita menyaksikan generasi yang pandai berbicara, tapi tidak tahu menghormati; cerdas berpikir, tapi miskin budi pekerti.
Penulis: Chaidir Toweren
Pemerhati Pendidikan dan Sosial Masyarakat














