Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Dalam kehidupan sosial, kita kerap kali tergoda untuk membandingkan pencapaian diri dengan keberhasilan orang lain. Kalimat seperti “Kenapa dia bisa?”, “Kenapa hanya dia yang mendapat kesempatan?”, atau “Kenapa bukan saya?” sering muncul, menyisakan kegelisahan dan bahkan kecemburuan. Padahal, yang kita lihat biasanya hanya hasil akhir—bukan proses panjang dan penuh perjuangan yang telah dilalui seseorang untuk sampai pada titik tersebut.
Fenomena ini bisa diibaratkan seperti seekor cicak yang bermimpi menjadi buaya. Cicak melihat sang buaya dari kejauhan: besar, ditakuti, dan memiliki kuasa. Maka muncullah keinginan untuk bisa seperti buaya. Tapi cicak lupa bahwa menjadi buaya bukan hanya soal bentuk tubuh atau status di ekosistem. Buaya adalah makhluk yang terbentuk dari proses panjang, uji adaptasi, dan pengalaman keras di lingkungan penuh tantangan.
Kita hidup di era serba cepat—di mana persepsi keberhasilan sering kali terdistorsi oleh kilatan media sosial dan cerita-cerita sukses instan. Di sinilah muncul kekeliruan berpikir bahwa untuk menjadi “besar”, cukup bermodal keinginan, keberanian, atau usia. Padahal, semua hal besar membutuhkan proses. Dan proses itu tidak bisa dilewati hanya dengan keyakinan kosong atau semangat sesaat.
Mentalitas instan yang mengidamkan posisi tinggi tanpa kesiapan kompetensi hanya akan menciptakan kegagalan yang menyakitkan. Bahkan lebih dari itu, bisa merusak ekosistem sosial di sekelilingnya. Tidak sedikit orang yang akhirnya terjebak dalam peran yang bukan miliknya, hanya karena ingin terlihat “seperti buaya”, tanpa memahami tanggung jawab dan konsekuensi yang mengikutinya.
Padahal zaman terus berkembang. Teknologi dan informasi berjalan lebih cepat dari daya adaptasi sebagian besar dari kita. Jika kita tidak memperkuat kemampuan dan wawasan, kita akan tergilas oleh perubahan. Oleh sebab itu, keberhasilan hari ini bukan lagi ditentukan oleh usia atau jabatan semata, melainkan oleh kemauan untuk terus belajar, kesiapan menghadapi tantangan baru, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita belum tahu segalanya.
Menjadi “besar” bukan perkara gaya, bukan soal tampilan. Ia adalah kombinasi dari pengalaman, kesabaran, kemampuan membaca zaman, dan kematangan berpikir. Maka, sebelum seseorang bercita-cita menjadi buaya, pastikan ia siap masuk ke rawa. Karena di sana bukan hanya dibutuhkan keberanian, tetapi juga keterampilan untuk bertahan dan bersaing secara sehat.
Kita perlu membangun budaya menghargai proses. Bukan hanya memuja hasil. Pencapaian sejati lahir dari konsistensi dan ketekunan, bukan dari rasa iri dan keinginan menyaingi orang lain.
Cicak boleh bermimpi, bahkan harus. Tapi mimpi itu akan tetap menjadi angan jika tidak disertai langkah nyata, kesiapan mental, dan usaha yang berkelanjutan. Jika tidak, cicak hanya akan kecewa karena tak pernah bisa menjadi buaya, dan lupa bahwa menjadi cicak pun bisa berguna jika ia menjalankan perannya dengan baik.