Oleh: Chaidir Toweren
TribuneIndonesia.com
Dalam dunia jurnalistik, tak ada ruang bagi pembenaran tanpa dasar. Ketika seseorang mengaku sebagai jurnalis, maka yang melekat bukan hanya hak untuk mencari dan menyebarkan informasi, tetapi juga kewajiban untuk tunduk pada aturan, etika, dan standar profesi.
Namun belakangan ini, kita kerap mendengar dalih-dalih aneh dari oknum yang mengaku wartawan tapi tidak memiliki dasar kompetensi. Saat ditegur karena menyalahgunakan profesi, mereka justru membalik tudingan: “Kami sedang bekerja”, “Kami punya hak”, atau “Kami sedang membela rakyat.” Padahal, saat ditanya apakah sudah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) atau pernah mendapat pelatihan jurnalistik dasar, jawabannya nihil. Inilah realita yang perlu kita benahi bersama.
Jangan cari pembenaran jika belum mengikuti aturan. Itu prinsip dasar dalam profesi apa pun, termasuk jurnalisme. Kita tidak bisa mengatasnamakan kebebasan pers untuk melakukan tindakan yang melanggar kode etik. Tidak bisa menuntut perlindungan hukum jika tidak mau mengikuti standar profesional yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers.
Fakta menunjukkan bahwa banyak kasus pelanggaran etik, pencatutan nama media, bahkan pemerasan yang justru dilakukan oleh oknum yang belum pernah sekalipun mengikuti pelatihan jurnalistik. Mereka tak memahami perbedaan antara opini dan berita, antara narasumber dan objek sandera, antara wawancara dan interogasi. Namun ironisnya, mereka tetap mengaku jurnalis.
Di sinilah pentingnya pelatihan dan UKW sebagai bagian dari pematangan profesi wartawan. Pelatihan bukan hanya untuk menambah ilmu, tapi juga untuk membentuk karakter jurnalis yang tangguh dan beretika. Sementara UKW adalah alat ukur—bukan segalanya memang, tapi itu syarat minimal—untuk membedakan antara mereka yang benar-benar wartawan dan yang hanya memakai identitas pers demi kepentingan pribadi.
Tanpa dua hal itu, profesi jurnalis akan terus tercoreng oleh oknum yang bekerja tanpa pijakan profesional. Akibatnya, kepercayaan publik menurun, kredibilitas media runtuh, dan yang lebih tragis: masyarakat tak lagi membedakan mana berita, mana fitnah.
Menjadi jurnalis bukan sekadar mengantongi ID card atau memiliki media online. Ia harus dilengkapi dengan pemahaman mendalam soal kode etik jurnalistik, hukum pers, serta tanggung jawab sosial dalam menyampaikan informasi. Ia juga harus siap diaudit, dikritik, bahkan diperiksa jika melenceng dari aturan.
Maka, marilah kita perkuat komitmen untuk membangun pers yang sehat. Tidak cukup hanya berteriak soal kebebasan pers jika kita sendiri belum siap tunduk pada aturan. Pers yang kuat lahir dari wartawan yang cakap, berintegritas, dan terlatih.
Kalau belum ikut UKW, ikuti. Kalau belum paham kaidah jurnalistik, belajarlah. Setidaknya ada usaha untuk menjadi lebih baik, bukan sibuk mencari pembenaran di balik ketidaktahuan. Karena kepercayaan publik terhadap pers, bukan dibangun dari banyaknya kartu pers di dompet, tapi dari kualitas dan integritas isi berita yang kita sajikan.
Jangan cari pembenaran jika belum mengikuti aturan. Karena profesi jurnalis bukan tempat berlindung, tapi tempat berjuang dengan integritas. Setidaknya kalau pun belum ada usaha untuk menuju kesana.