TribuneIndonesia.com
Pernyataan tegas Jaksa Agung ST Burhanuddin baru-baru ini mengguncang ruang birokrasi hukum di seluruh Indonesia. Dalam keterangannya yang dikutip dari detikNews, Burhanuddin menyoroti langsung kinerja para jaksa di daerah yang dianggap lamban, tidak responsif, bahkan gagal mengungkap dugaan tindak pidana korupsi di wilayah kerjanya masing-masing. Ia dengan lantang menegaskan, “Jaksa yang tidak bisa mengungkap kasus korupsi akan ditindak.”
Bagi publik, ucapan itu bukan sekadar teguran internal, tetapi tamparan keras terhadap wajah Kejaksaan di daerah yang selama ini terkesan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di tengah meningkatnya kasus penyalahgunaan anggaran dan praktik koruptif di daerah, justru banyak masyarakat melihat jaksa seolah kehilangan taring. Banyak kasus yang ditangani Kejaksaan Negeri tak pernah menemukan ujungnya menguap, menggantung, bahkan menghilang begitu saja tanpa kejelasan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan tajam di tengah publik:
Apakah jaksa-jaksa di daerah benar-benar bekerja, atau justru terjebak dalam lingkaran kompromi dan tekanan politik lokal?
Kinerja Jaksa Daerah di Ujung Sorotan
Kritik Jaksa Agung ST Burhanuddin bukan tanpa alasan. Sejak awal 2024, publik mencatat banyak laporan tentang penanganan kasus korupsi di daerah yang mandek. Dari Aceh hingga Papua, muncul keluhan serupa: laporan masyarakat tentang dugaan penyimpangan anggaran tidak direspons serius.
Sebagian jaksa di daerah bahkan dituding lebih sibuk menjaga hubungan dengan elite politik lokal daripada menjalankan tanggung jawab penegakan hukum. Mereka seolah enggan menggali kasus besar yang melibatkan pejabat aktif, sementara kasus kecil yang menyangkut rakyat biasa justru dituntaskan dengan cepat.
Kondisi inilah yang membuat pernyataan Jaksa Agung dianggap penting bahkan mendesak. Publik menilai, sudah saatnya Kejaksaan Agung membersihkan barisan internal dari jaksa “pura-pura sibuk” yang lebih pandai mencari alasan daripada mencari bukti.
Korupsi Daerah: Wabah yang Tak Pernah Reda
Indonesia bukan kekurangan regulasi atau instrumen hukum untuk memberantas korupsi. Yang kurang adalah kemauan politik dan moral penegak hukum di lapangan. Di berbagai daerah, korupsi telah menjadi penyakit sistemik yang menggerogoti pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Bupati, kepala dinas, hingga pejabat desa kerap terlibat dalam penyalahgunaan dana publik. Namun yang lebih menyakitkan, banyak di antara mereka lolos dari jeratan hukum karena lemahnya penanganan oleh aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan.
Padahal, publik menaruh harapan besar pada Kejaksaan sebagai garda terdepan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun harapan itu sering kali dikhianati oleh kenyataan. Ada laporan masyarakat yang tidak pernah ditindaklanjuti, ada kasus yang dipetieskan karena alasan “bukti belum cukup”, bahkan ada isu tak sedap tentang “pengamanan kasus” yang melibatkan oknum penegak hukum sendiri.
Maka ketika Jaksa Agung menyatakan akan menindak jaksa yang tidak mampu mengungkap kasus korupsi di daerah, publik menyambutnya dengan apresiasi sekaligus harapan besar. Namun, apresiasi itu akan berubah menjadi sinisme jika pernyataan keras itu tidak diikuti dengan tindakan nyata.
Publik Desak Dibuka Jalur Laporan Langsung ke Kejagung
Salah satu usulan yang paling banyak disuarakan masyarakat adalah pembukaan saluran pengaduan langsung ke Kejaksaan Agung, baik berupa hotline, email resmi, maupun aplikasi digital.
Tujuannya jelas agar masyarakat dapat melaporkan langsung jaksa-jaksa di daerah yang lamban, tidak transparan, atau bahkan sengaja menghambat proses hukum. Dengan sistem pengawasan terbuka seperti itu, publik dapat ikut mengawal integritas lembaga kejaksaan dan menekan potensi permainan di tingkat lokal.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan kinerja aparat penegak hukum juga menjadi bentuk partisipasi aktif dalam pemberantasan korupsi. Jika rakyat diberi ruang untuk melapor tanpa takut, dan laporan itu benar-benar direspons dengan transparan, maka tidak akan ada lagi alasan bagi jaksa di daerah untuk “tidur di atas berkas kasus”.
Publik percaya, perubahan besar hanya akan terjadi jika Jaksa Agung membuka telinga untuk suara rakyat. Karena sering kali, justru rakyatlah yang pertama tahu siapa yang bermain di balik layar kasus korupsi di daerah mereka.
Membangun Kepercayaan Lewat Ketegasan
Jaksa Agung ST Burhanuddin kini berada di titik krusial: antara menjaga citra lembaga atau memperbaikinya dengan risiko mengguncang kenyamanan internal. Jika pernyataannya hanyalah retorika, publik akan cepat kehilangan kepercayaan. Namun bila benar-benar dijalankan dengan evaluasi ketat, rotasi pejabat bermasalah, dan pembukaan kanal pengaduan publik, maka sejarah akan mencatat bahwa era Burhanuddin menjadi titik balik kebangkitan moral kejaksaan.
Kejaksaan tidak boleh hanya menjadi lembaga penegak hukum di atas kertas. Ia harus berdiri di atas integritas dan keberanian moral. Sebab, di tengah banyaknya jaksa yang diam saat rakyat berteriak, bangsa ini butuh jaksa yang tidak hanya berani menuntut, tetapi juga berani melawan keheningan yang menguntungkan koruptor.
Pernyataan keras Jaksa Agung patut diapresiasi, tetapi publik tidak lagi ingin mendengar janji publik ingin melihat aksi.
Sudah terlalu lama korupsi menjadi tontonan dan penegakan hukum menjadi sandiwara. Jika kejaksaan di daerah tidak segera dibenahi, maka yang akan terus tertawa adalah para koruptor, sementara rakyat tetap menjadi korban.
Kini bola ada di tangan ST Burhanuddin.
Apakah ia akan benar-benar menindak jaksa yang tidur di tengah tumpukan berkas korupsi, atau membiarkan institusi besar ini kembali tenggelam dalam lumpur ketidakpercayaan publik?
Publik menunggu. Dan kali ini, penantian itu harus berakhir dengan tindakan nyata.
Penulis : Chaidir
Penulis Mahasiswa ilmu Hukum















