Bireuen | TribuneIndonesia.com
Ratusan guru berbagai jenjang pendidikan di Aceh, mulai dari Sekolah Menengah Atas(SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Islam (MI) hingga pengawas sekolah, mengikuti seminar nasional bertajuk “The Power of Teaching: Menjadi Guru Berpengaruh dan Inspiratif dengan Pendekatan Deep Learning”, digelar selama dua hari, Sabtu dan Minggu, 31 Mei-1 Juni 2025 di Paya Lipah.
Kegiatan tersebut dipromosikan oleh Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Bireuen ini kini menjadi sorotan.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, S.T., D.E.A., yang dikonfirmasi oleh awak media Senin 2 Juni 2025, menyebutkan, kegiatan tersebut dilaksanakan tanpa izin resmi dari Dinas Pendidikan Aceh dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pengembangan sumber daya manusia dalam dunia pendidikan.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, S.T., D.E.A., mengakui, selain tidak memiliki izin atau rekomendasi tidak boleh mengutik dana dari Peserta guru didik.
Selanjutnya juga Kacabdin harus mendorong Guru untuk mengikuti pelatihan baik didanai pemerintah maupun mandiri.
Untuk pelatihan mandiri, harus bersifat voluntary (sukarela) dan tidak boleh dipaksakan pengutipan kepada Guru.
Selanjutnya, kegiatan pelatihan tidak boleh menganggu kegiata PBM termasuk ujian.
Karena itu Dinas Pendidikan Aceh melakukan penyelidikan dan akan menurunkan tim untuk menyidik Kasus tersebut.
Namun demikian Dinas Pendidikan Aceh mengharapkan kepada media massa tidak melakukan trial by press atau trial by media sosial, karena dapat menggiring opini dan berpotensi terjadi praduga, sebutnya.
Bahwa kegiatan tersebut terindikasi mengandung unsur pemaksaan. Sejumlah guru mengakui bahwa undangan yang dikirim ke sekolah-sekolah menggunakan atribut resmi institusi pemerintah, menciptakan persepsi bahwa seminar tersebut bersifat wajib. Hal tersebut kekhawatiran serius akan terjadinya penyalahgunaan wewenang birokrasi untuk mendukung agenda pihak ketiga, dalam hal ini lembaga GRAPENSI yang berkantor pusat di Jakarta Timur.
Tidak sampai hanya disitu menyangkut persoalan administratif, pelaksanaan seminar juga telah mengganggu jalannya proses Pembelajaran dan Evaluasi. Ironisnya, kegiatan ini berlangsung di tengah pelaksanaan ujian sekolah, menyebabkan absennya sejumlah guru pengawas dan berdampak langsung terhadap kualitas penyelenggaraan ujian. Hal tersebut menunjukkan minimnya sensitivitas Kacabdin Bireuen terhadap kepentingan akademik siswa-satu aspek krusial yang semestinya menjadi prioritas dalam ekosistem pendidikan.
Kepala SMAN 1 Wilayah Timur, yang akrab dijuluki “Raja Bireuen”, mengkritik keras penyelenggaraan seminar tersebut.
Dia menyatakan bahwa pendidikan bukan panggung pertunjukan seremonial, melainkan soal kehadiran guru saat murid membutuhkannya. Melaksanakan seminar tanpa koordinasi dengan Dinas Pendidikan Aceh dan mengorbankan proses belajar-mengajar demi kepentingan simbolik adalah preseden buruk dalam tata kelola dunia pendidikan.
Kritikan ini diperkuat keluhan sejumlah peserta seminar yang merasa “dipaksa” mengikuti kegiatan berbayar dengan fasilitas yang dinilai minim dan manfaat yang tidak sepadan.
Mereka sangat kecewa dengan biaya Rp250.000/ per peserta, serta hanya mendapatkan sertifikat dan makan siang. Banyak guru menduga bahwa seminar ini hanyalah modus berkedok peningkatan kapasitas, padahal lebih menyerupai upaya komersialisasi pendidikan menjelang Lebaran hari raya.
Namun hasil Investigasi Tim Media ini di lapangan menemukan kejanggalan, para siswa-siswi yang sedang mengikuti ujian di SMAN 1 Gandapura sempat diliburkan, dengan berdalih guru mengikuti seminar, Ungkap salah satu sumber terpercaya di lingkungan Sekolah tersebut. Senin 2 Juni 2025.
Dinas Pendidikan Aceh, melalui pernyataan resminya, menyatakan bahwa pelatihan guru, baik yang didanai pemerintah maupun secara mandiri, harus bersifat sukarela (voluntary) dan tidak boleh memaksa. Selain itu, kegiatan semacam ini tidak boleh men