Fredi Marbun Desak Bupati Samosir Hentikan Narasi Tendensius di Tengah Duka Bencana Tapanuli
Jakarta | TribuneIndonesia.com — Di tengah suasana duka akibat bencana tanah longsor dan banjir bandang yang melanda wilayah Tapanuli, terbitnya Surat Edaran Bupati Samosir Nomor 23 Tahun 2025 justru menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Surat edaran yang berisi imbauan agar masyarakat tidak menerima bantuan dari perusahaan atau lembaga tertentu yang dinilai merusak lingkungan tersebut dinilai tidak tepat waktu dan berpotensi menghambat hadirnya bantuan kemanusiaan bagi korban terdampak, Rabu6 (3/12/2025).
Tokoh pergerakan sekaligus aktivis HAM dan pemerhati isu Tapanuli, Fredi Marbun, menyampaikan kritik tegas terhadap kebijakan tersebut. Ia menilai langkah Bupati Samosir tidak mencerminkan kepekaan sosial di tengah situasi darurat kemanusiaan, saat masyarakat membutuhkan uluran tangan seluruh pihak tanpa sekat.
“Dalam kondisi seperti ini yang dibutuhkan adalah kebersamaan untuk menolong rakyat, bukan seruan yang bernada menyudutkan dan dapat menutup pintu bantuan. Ini bukan sekadar seruan lingkungan, melainkan potensi menambah luka di tengah musibah,” tegas Fredi.
Ia menyoroti kondisi di lapangan yang masih memprihatinkan, di mana sebagian warga masih melakukan pencarian anggota keluarga yang hilang, berjuang membersihkan sisa lumpur, serta berupaya memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Kehadiran surat edaran tersebut, menurutnya, justru berpotensi memperkeruh suasana dan mengganggu proses pemulihan pascabencana.
Fredi juga mempertanyakan momentum penerbitan kebijakan tersebut. Menurutnya, saat ini merupakan periode paling genting bagi masyarakat untuk mendapatkan dukungan logistik, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Seruan yang berpotensi membatasi sumber bantuan dinilai sama saja dengan menempatkan kepentingan narasi tertentu di atas keselamatan rakyat.
“Mengapa kebijakan seperti ini justru muncul ketika rakyat tengah kesusahan dan membutuhkan bantuan? Ketika pemerintah mengeluarkan imbauan yang berpotensi menghambat pertolongan, itu sama saja menambah beban penderitaan warga,” ujarnya.
Selain soal waktu, Fredi menilai substansi surat edaran tersebut terlalu umum dan tidak disertai penjelasan maupun data yang rinci. Kondisi itu membuka ruang terjadinya salah tafsir di tengah masyarakat, memicu kecurigaan antarwarga maupun antarlembaga penyalur bantuan, serta berpotensi menghambat soliditas kerja-kerja kemanusiaan.
“Dalam kondisi normal saja, narasi yang tendensius dapat memicu konflik. Apalagi di saat bencana. Yang dibutuhkan adalah seruan pemersatu, bukan pesan yang menebar stigma dan kecurigaan,” katanya.
Fredi menegaskan bahwa kepala daerah seharusnya hadir sebagai simbol perlindungan, ketenangan, dan empati bagi masyarakatnya. Di tengah bencana, seorang pemimpin dituntut membawa kepastian serta semangat solidaritas, bukan justru memunculkan kebijakan yang berpotensi memecah persatuan.
“Rakyat butuh pemimpin yang mengedepankan empati dan kepastian, bukan kebijakan yang berisiko menjadi sumber perpecahan di tengah suasana duka,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Fredi mengajak Pemerintah Kabupaten Samosir untuk segera mengevaluasi kebijakan yang telah dikeluarkan serta memfokuskan seluruh energi pada penanganan korban bencana secara maksimal dan menyeluruh.
“Fokuslah pada kemanusiaan. Jangan biarkan narasi yang tidak tepat waktu mengganggu konsentrasi penanggulangan bencana. Tugas pemerintah adalah menghadirkan pertolongan dan perlindungan, bukan membatasi tangan-tangan tulus yang ingin membantu masyarakat,” pungkasnya.
(Wisnu Sembiting)

















