LEBAK | TribuneIndonesia.com
Senin (6/10/2025), Arogansi kekuasaan kembali mencoreng wajah demokrasi di tingkat desa. Insiden memalukan diduga dilakukan Kepala Desa (Kades) Sindangratu, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, Banten. Alih-alih melayani masyarakat dengan keterbukaan, Kades bernama Mpud Mahpudin justru diduga mengusir wartawan dan merampas telepon genggam milik jurnalis saat menjalankan tugas jurnalistik.
Peristiwa ini terjadi pada 25 Agustus 2025 menimpa Bahrudin, wartawan Justic-Epost.com. Saat datang ke kantor desa, niatnya meliput malah berujung pada intimidasi. “Sebelum masuk, HP saya disita duluan sama perangkat desa bernama Didin, katanya perintah langsung dari kades. Saya tidak bisa merekam karena HP diambil di dalam. Setelah itu, saya langsung diusir oleh kades,” ungkap Bahrudin dengan nada kesal.
UU Pers Dilanggar, Tindakan Bisa Berujung Pidana
Tindakan Kepala Desa Sindangratu jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menegaskan bahwa wartawan dilindungi dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 4 Ayat (3): Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Pasal 8: Wartawan mendapat perlindungan hukum saat bertugas.
Pasal 18 Ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi tugas jurnalistik dapat dipidana paling lama 2 tahun atau denda Rp500 juta.
Tak hanya itu, penyitaan HP tanpa dasar hukum bisa dijerat dengan Pasal 335 dan 406 KUHP karena termasuk perampasan barang milik orang lain. Artinya, dugaan arogansi Kades Sindangratu bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan tindak pidana serius.
Insiden ini langsung memantik amarah kalangan pers. Raeynold Kurniawan, Pemimpin Redaksi Justic-Epost.com sekaligus Ketua GWI DPC Pandeglang, mengecam keras tindakan kades.
“Ini bukan sekadar pelecehan profesi, tapi pelanggaran undang-undang negara. Kami akan kirim surat resmi ke DPMD Lebak dan meminta oknum kades dipanggil. Kasus ini pasti kami bawa ke ranah hukum. Lo jual, kami borong!” tegasnya.
Menurut Raeynold, apa yang dilakukan kades adalah tamparan keras bagi pemerintahan desa yang seharusnya menjunjung keterbukaan informasi publik, bukan justru bertindak bak penguasa kebal hukum.
Kasus ini juga menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat. “Kalau tidak ada yang ditutup-tutupi, kenapa wartawan diusir? Apa yang ditakutkan?” sindir seorang warga.
Minimnya transparansi dan sikap represif terhadap pers justru mempertebal dugaan publik terhadap kinerja pemerintah desa. Warga kini menunggu langkah nyata dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Lebak: apakah berani bersikap atau memilih diam.
Perlu diingat, wartawan bukan musuh pemerintah. Menghalangi tugas wartawan sama artinya dengan menghalangi hak publik untuk tahu (public right to know). Pasal 1 Ayat (1) UU Pers menegaskan peran wartawan dalam menyampaikan informasi, pendidikan, dan kontrol sosial untuk kepentingan masyarakat.
Jika hukum benar-benar ditegakkan, tindakan Kepala Desa Sindangratu seharusnya tidak hanya dikecam, tetapi diproses sesuai aturan hukum yang berlaku.
Kasus ini menjadi cermin buram wajah birokrasi di akar rumput: ketika seorang kades bisa sewenang-wenang mengusir wartawan dan menyita alat kerjanya, maka pertanyaan besar pun muncul:
“Apakah hukum di negeri ini masih berlaku sama bagi semua orang?” (jaka)















