Oleh: Chaidir Toweren
TRIBUNEIndonesia.com
Ada yang bilang sakit gigi itu penyakit murahan. Sepele. Tidak perlu dibesar-besarkan. Bahkan ada yang bercanda, “mending sakit hati dari pada sakit gigi.” Lucu memang, tapi siapa pun yang pernah merasakan pasti tahu, sakit gigi bukan sakit biasa. Sakit ini bisa bikin hidup benar-benar berantakan.
Saya pernah mengalaminya. Berhari-hari gigi saya berdenyut tak karuan. Nyeri itu menjalar ke kepala, telinga, bahkan sampai ke leher. Rasanya semua syaraf ikut berontak. Tidur tidak bisa, makan tidak enak, bekerja pun kacau balau. Apalagi bila kita hendak menulis butuh kosentrasi yang tinggi dan sudah pasti mood akan hilang, daya pikir ngaj jalan bila sedang mengalaminya. Akibat sakit yang tak kunjung sembuh, sampai akhirnya suatu malam saya menyerah dan pergi ke IGD sebuah rumah sakit untuk mengurangi derita.
Sampai di Rumah sakit, alih-alih ditangani dengan serius, saya justru dianggap pasien dengan keluhan ringan. Saat di diperiksa saya meminta untuk disuntik anti nyeri, setelah disuntik diberi obat nyeri setelah saya minta lalu dibiarkan dan akhirnya saya pulang karena merasa agak ngak enakkan. Mulai saat itu saya benar-benar merasa sakit gigi tidak pernah dipandang penting. Padahal yang saya rasakan bukan sakit main-main, tapi penderitaan luar biasa.
Pandangan yang mengira sakit gigi hanya soal gigi berlubang. Padahal lebih dari itu. Gigi yang rusak bisa memicu infeksi, gusi bengkak, bahkan bisa menyebar ke bagian tubuh lain. Ada kasus infeksi gigi yang menjalar ke telinga, sinus, hingga ke otak. Bahayanya nyata, bukan cerita karangan.
Masalahnya, karena dianggap remeh, banyak orang lebih memilih menahan sakit atau sekadar minum obat pereda nyeri. Obat memang membantu sesaat, tapi jika dikonsumsi berlebihan justru bisa merusak ginjal, hati, dan lambung. Bayangkan, gara-gara sakit gigi yang diremehkan, seseorang bisa kena penyakit lain yang lebih parah.
Sakit gigi hanyalah contoh kecil dari mentalitas kita yang suka meremehkan penyakit. Selama masih bisa ditahan, kita memilih diam. Selama belum parah, kita enggan ke dokter. Gigi berlubang dianggap wajar, padahal itu bom waktu.
Lucunya, saat sudah parah, biaya pengobatan malah jadi berkali lipat. Gigi yang seharusnya bisa ditambal akhirnya harus dicabut. Infeksi yang tadinya bisa disembuhkan dengan antibiotik ringan bisa menjalar lebih luas. Semua itu gara-gara kebiasaan menunda dan meremehkan.
Jujur saja, ada juga persoalan cara pandang sebagian tenaga medis. Pasien dengan sakit gigi sering kali dipandang bukan prioritas. Kalau datang ke IGD, pasien jantung atau sesak napas langsung ditangani. Pasien sakit gigi? Diminta untuk bersabar dalam penangannya karena sejauh ini memang tidak ada pasien yang dirawat hanya karena sakit gigi dan justru karena itu tidak ada dokter gigi yang piket di IGD. Padahal, bagi si penderita, sakit gigi sama menyiksanya dengan penyakit lainnya.
Di sinilah ironi itu terlihat. Sistem kesehatan kita masih menempatkan kesehatan gigi dan mulut di urutan belakang. Padahal, mulut adalah pintu masuk segala penyakit. Dari mulut, bakteri bisa masuk ke darah, menyebar, lalu menyerang organ vital. Tapi tetap saja, sakit gigi dianggap sepele.
Untuk itu kita perlu mengubah cara pandang terhadap sakit gigi. Jangan lagi dianggap penyakit murahan. Faktanya, sakit gigi bisa membuat kualitas hidup seseorang jatuh drastis. Orang sehat yang produktif bisa mendadak lumpuh aktivitasnya gara-gara sakit gigi.
Pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada kesehatan gigi. Sudah seharusnya Puskesmas dan rumah sakit punya layanan gigi yang mudah diakses, terjangkau, dan tidak rumit. Sekolah-sekolah perlu rutin mengedukasi anak-anak tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi. Karena gigi berlubang bukan saja terjadi karena kurangya seseorang menyikat gigi, makanan dan minuman menjadi salah satu faktor gigi gampang rapuh.
Sakit gigi memang tidak menular, tapi dampaknya luar biasa. Ia bisa merusak kesehatan, mengacaukan mental, bahkan membuat kita tak berdaya. Menyebut sakit gigi sebagai penyakit sepele sama saja menutup mata dari fakta bahwa ia bisa meruntuhkan hidup seseorang dalam sekejap.
Jadi, jika ada orang yang berkata “Ah, cuma sakit gigi,” jawab saja: “Cuma sakit gigi bisa bikin hidup jungkir balik!”