MEDAN I Tribuneindonesia.com
Suasana mencekam menyelimuti halaman Balai Kota Medan pada Selasa (10/06/2025), saat ratusan guru dari berbagai jenjang pendidikan—TK, SD, hingga SMP—menggelar aksi diam yang menyimpan amarah. Tanpa orasi, tanpa pengeras suara, namun penuh makna: para pendidik Kota Medan merasa telah cukup lama disakiti dan kini menuntut keadilan.
Di bawah bendera Forum Guru Bersatu Sumatera Utara (FGBSU), para guru menyampaikan tiga poin tuntutan kepada Wali Kota Medan. Mereka menuntut pencabutan kebijakan era Wali Kota sebelumnya, Muhammad Bobby Afif Nasution, yang dinilai merugikan ribuan guru.
Inilah 3 Tuntutan Panas Para Guru
Anggaran Tambahan Gaji dan Tunjangan:Tambahan 50% dari Tunjangan Profesi Guru (TPG) untuk Gaji 14 dan Gaji 13 Tahun Anggaran 2023 (PP No. 15/2023).Tambahan 100% dari TPG untuk Gaji 14 dan Gaji 13 Tahun Anggaran 2024 (PP No. 14/2024).
Tambahan 100% TPG untuk Gaji 14 dan Gaji 13 Tahun Anggaran 2025 (PP No. 11/2025).Cabut Peraturan Wali Kota Medan Nomor 1 Tahun 2023 tentang TPP Guru yang hanya Rp220.000/bulanjumlah yang dinilai sangat tidak manusiawi bagi para pengabdi pendidikan.
Perubahan Waktu Presensi Pulang: Guru menuntut sistem presensi disesuaikan dengan waktu pulang siswa. “Siswa pulang, guru juga pulang!”
Guru Menangis Tanpa Suara
Khoir, salah satu guru peserta aksi, mengatakan bahwa unjuk rasa ini bukan sekadar protes biasa ini adalah jeritan batin yang tertahan terlalu lama.
“Kami hanya duduk, diam, tidak bersuara. Karena hati guru sudah terlalu dalam dilukai. Bahkan kami tidak membawa pengeras suara. Kami ingin didengar, bukan diteriakkan,” ujarnya lirih namun tegas.
Aksi ini pun direspons Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, Benny Siregar, yang mengaku tuntutan tersebut sudah sering dibahas namun belum menemukan titik terang. Ia berjanji akan menyampaikan aspirasi ini ke pimpinan daerah dan pusat.
“Kami tidak tinggal diam, tapi proses ini melibatkan banyak pihak hingga pusat. Kami akan terus suarakan,” ucap Benny.
BKAD: Anggaran Tak Bisa Dipaksakan
Plt Kepala BKAD, Evan Bulung, menjelaskan bahwa dana untuk gaji dan THR guru berasal dari pusat, bukan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang berasal dari PAD hanyalah TPP.
“Kami tidak bisa sembarangan ubah kebijakan. Sumber dana berbeda. Kenaikan TPP harus memperhitungkan semua guru se-Kota Medan, dan itu akan membebani APBD. Belanja pegawai maksimal 30% dari anggaran daerah,” jelas Evan.
Namun penjelasan teknis ini tak cukup meredam gejolak hati para guru yang merasa hak mereka tak kunjung dipenuhi.
Aksi diam ini mungkin tak bersuara, tapi getarannya mengguncang Balai Kota Medan. Para guru telah bicara lewat diam mereka—dan kini, bola panas ada di tangan pemerintah. Akankah tuntutan mereka digubris, atau kembali tenggelam dalam tumpukan birokrasi?
Ilham Tribuneindonesia.com