Aceh Timur | TribuneIndonesia.com
Di tengah riuhnya kampanye nasional tentang percepatan penurunan stunting, Kabupaten Aceh Timur menghadapi persoalan yang lebih kompleks dari sekadar kurangnya gizi. Di wilayah yang kaya minyak dan gas bumi (migas) ini, ancaman gagal tumbuh pada anak justru berjalin dengan bahaya yang lebih senyap: pencemaran lingkungan akibat limbah migas.
Ironisnya, daerah yang menjadi sumber energi nasional kini menjadi medan perjuangan baru bagi para ibu, bidan, dan penggerak PKK. Mereka bukan hanya berjuang memberi makan bergizi, tetapi juga melawan keracunan lingkungan yang menggerogoti masa depan generasi muda.
Dan di garis depan perjuangan itu berdiri sosok Ibu Wakil Bupati, pemimpin Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh Timur, yang kini dituntut tak hanya berpikir sebagai pejabat daerah, melainkan sebagai arsitek perubahan perilaku dan advokat lingkungan.
Secara ilmiah, stunting dipicu dua faktor utama: intervensi spesifik, kurangnya asupan gizi, dan intervensi sensitif—penyakit serta lingkungan yang tidak sehat.
Namun, di Aceh Timur, faktor sensitif inilah yang paling berbahaya. Limbah migas menciptakan jalur keracunan yang memperparah kondisi anak-anak.
Air tanah dan sungai yang tercemar bahan kimia beracun digunakan untuk mencuci, memasak, dan bahkan minum. Zat toksik itu merusak sistem pencernaan anak, memicu diare kronis, dan menghancurkan kemampuan tubuh menyerap gizi.
Akibatnya, meski gizi sudah cukup, nutrisi itu tetap gagal diserap.
Simpul maut inilah yang menjadikan stunting di Aceh Timur bukan hanya persoalan gizi, tapi juga akibat lingkungan yang beracun. Maka langkah pertama Ibu Bupati haruslah: mengakui limbah migas sebagai faktor risiko stunting, dan memasukkannya ke dalam peta kebijakan daerah.
Ibu Wakil Bupati perlu memimpin sinergi antara Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup.
Integrasi data stunting dengan peta pencemaran limbah migas bukan sekadar langkah teknis, melainkan strategi komunikasi publik yang revolusioner.
Masyarakat perlu mendengar narasi baru: “Anak kita bukan kurang makan, tapi air sumur kita sedang sakit.”
Dengan bahasa yang dekat dengan keseharian warga, pesan seperti ini akan membuka kesadaran baru tentang hubungan antara kesehatan, kebersihan, dan lingkungan.
Melalui jaringan PKK hingga tingkat dasawisma, Ibu Bupati mendorong edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai strategi bertahan hidup di tengah ancaman pencemaran.
Pesannya sederhana namun kuat: mencuci tangan pakai sabun (CTPS) bukan hanya kebiasaan, tetapi benteng terakhir dari racun yang tak terlihat.
Selain itu, literasi air aman menjadi agenda penting. Masyarakat harus diajari mengenali air tercemar, memahami risiko penggunaan air sumur beracun, dan mempraktikkan sanitasi yang benar.
Ibu Bupati juga dapat menggandeng tokoh agama untuk memperkuat pesan ini. Dalam konteks Aceh, mengaitkan nilai thaharah (kesucian diri) dan Hablum Minannas (hubungan antar manusia) dengan perilaku higienis akan menciptakan motivasi spiritual yang kuat.
Perubahan tidak akan lahir dari ceramah, tetapi dari keteladanan.
Tim Pendamping Keluarga (TPK) bidan, kader KB, dan kader PKK, harus menjadi model hidup dari perubahan perilaku higienis.
Ketika para kader menunjukkan praktik bersih, cuci tangan rutin, dan penyimpanan makanan yang aman, masyarakat akan meniru.
Di sinilah kepemimpinan Ibu Bupati diuji: bukan hanya dalam rapat, tetapi dalam menumbuhkan budaya hidup sehat yang mengakar di dapur, di sumur, dan di hati masyarakat.
Namun semua upaya perilaku tidak akan bertahan tanpa dukungan infrastruktur.
TPPS harus mendesak Dinas PUPR dan PDAM memprioritaskan pembangunan air bersih di zona merah pencemaran dan stunting.
Air komunal, distribusi air mobile, hingga subsidi filter rumah tangga menjadi solusi konkret yang harus diperjuangkan.
Lebih jauh, perusahaan migas wajib ikut bertanggung jawab. Melalui program CSR, mereka harus diwajibkan memperbaiki sumber air, membangun fasilitas sanitasi, dan mendukung edukasi higienis masyarakat.
Tanpa langkah tegas ini, stunting di Aceh Timur hanya akan menjadi kisah berulang: korban gizi di tengah sumber daya yang berlimpah.
Keberhasilan Ibu Wakil Bupati dalam memimpin gerakan ini tidak diukur dari angka semata, tetapi dari perubahan perilaku masyarakat.
Dari ibu yang kini tahu pentingnya mencuci tangan, dari anak yang tumbuh tanpa diare, dari sumur yang kembali jernih.
Dalam konteks Aceh Timur, melawan stunting berarti melawan racun lingkungan dan kebiasaan lama sekaligus.
Dan di titik ini, peran Ibu Bupati bukan sekadar administratif melainkan moral, ekologis, dan peradaban.
Ketika seorang ibu daerah mampu memimpin perubahan di tengah ancaman limbah migas, maka sesungguhnya ia sedang menyelamatkan bukan hanya generasi 1000 HPK, tetapi masa depan Aceh Timur itu sendiri.
Oleh : JULIA MAULANA ST.r.Kes
(Mahasiswa Prodi Megister Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala)















