Oleh : Ilham Gondrong
TribuneIndonesia.com
Manusia itu, pada dasarnya, akan selalu mementingkan dirinya sendiri.
Kalimat ini terdengar tajam, bahkan mungkin terasa menyakitkan bagi sebagian orang. Tapi di balik kesan dingin itu, tersimpan kebenaran psikologis dan filosofis yang sudah dibahas sejak zaman para filsuf Yunani hingga teori-teori modern tentang perilaku manusia.
Sejak lahir, manusia dibekali dengan naluri untuk bertahan hidup. Ia akan menangis ketika lapar, mencari kehangatan ketika kedinginan, dan meronta jika merasa terancam. Semua itu adalah bentuk ekspresi alami untuk mempertahankan diri. Ketika dewasa, naluri itu berubah wujud: menjadi ambisi, rasa takut kehilangan, kebutuhan akan pengakuan, hingga dorongan untuk menguasai.
Tak heran jika manusia sering terlihat egois. Ia mengejar kenyamanan, kebahagiaan, dan keselamatan untuk dirinya sendiri, bahkan terkadang dengan mengorbankan orang lain. Namun, apakah ini berarti manusia sepenuhnya makhluk yang mementingkan diri sendiri?
Manusia bukan hanya daging dan insting. Ia juga adalah makhluk sosial dan spiritual. Ia punya hati nurani, yang sering berbisik lirih ketika ada yang terluka di sekitarnya. Ia punya kemampuan untuk merasa bersalah, untuk peduli, dan untuk mencintai. Dalam banyak peristiwa, manusia bisa melampaui egonya mengorbankan waktu, tenaga, harta, bahkan nyawa demi orang lain.
Lihatlah seorang ibu yang rela tidak makan demi anaknya. Seorang sahabat yang mengorbankan kariernya demi menyelamatkan nama baik temannya. Seorang relawan yang dengan tenang memasuki zona bencana, tanpa pamrih, hanya karena ingin membantu.
Itu semua bukan karena logika atau kepentingan pribadi. Itu karena nurani.
Karena itu, jika kita ingin memahami manusia secara utuh, kita harus mengakui satu hal penting:
Manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, namun ia juga dibekali kemampuan untuk peduli dan berbuat bagi sesama.
antara dua kutub itu
ego dan nurani manusia menjalani hidupnya. Kadang ia terjatuh ke dalam kubangan keegoisan, tapi kadang pula ia bangkit sebagai sosok yang penuh kasih dan ketulusan.
Tugas kita sebagai manusia adalah belajar mengenali kedua sisi itu dalam diri sendiri. Mengakui sisi gelap, namun terus memberi ruang bagi cahaya nurani untuk menyala. Karena dunia ini terlalu sempit jika hanya diisi oleh orang-orang yang sibuk memikirkan dirinya sendiri. Tapi dunia ini bisa menjadi tempat yang luar biasa, bila kita mau sedikit lebih peduli.
Akhirnya, manusia tidak hanya dilihat dari seberapa keras ia mengejar apa yang ia inginkan. Tapi juga dari seberapa besar ia mampu menahan egonya demi kebaikan yang lebih luas.
Ilham TribuneIndonesia.com