Bitung, Sulut | Tribuneindonesia.com,
Menempuh jalan spiritual, khususnya di jalur Shiratul Auliyah, bukanlah perkara mudah. Proses ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan tekad yang kuat (Azam) serta keridhoan dari Sang Maha Pemilik Jagat Raya, Allah SWT. Jumat (15/08/25)
Qs : Al Baqarah Ayat 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya :
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Seseorang yang berupaya menjalankan seluruh perintah Allah (Syariat) berharap dapat mencapai kedekatan dan pengenalan (Ma’rifat) kepada-Nya. Namun, tanpa keridhoan Allah, usaha tersebut hanya akan berakhir dengan kekecewaan.
Mengapa hal ini terjadi? Inilah ketetapan Allah. Pada tingkatan ini, manusia akan menghadapi Bala (ujian) dari-Nya, dan hanya sedikit yang mampu memahaminya secara mendalam.
Di awal perjalanan spiritual (Syariat), seseorang biasanya berada dalam zona nyaman. Namun, ketika memasuki tahap Bala, keimanannya seringkali goyah karena berbagai pertanyaan yang dimunculkan dalam jauhar akal (pikiran).
Qs ; Al Fajr Ayat 15-16
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Artinya :
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.
Banyak faktor yang menyebabkan kegoyahan ini, salah satunya adalah kurangnya pembekalan spiritual dari seorang pembimbing. Bahkan mereka yang telah dibekali pun masih banyak yang goyah di level ini. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan akal dan nafsu untuk keluar dari zona nyaman. Padahal, seharusnya mereka menyadari bahwa ujian (Bala) pasti akan datang menghadang.
Ada pula orang yang mampu menerima ketetapan Allah saat Bala menimpanya. Namun, mereka seringkali tidak memahami makna dan tujuan di balik ujian tersebut. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan tafakur tingkat tinggi. Dengan merenung secara mendalam, seseorang akan mampu menerima segala ketetapan Allah dengan ikhlas.
Terkadang, seseorang terlalu fokus pada nilai-nilai agama dalam bentuk tertentu hingga mengabaikan aspek lain. Tiba-tiba, ia seolah dipaksa meninggalkan kebiasaannya itu. Siapa yang memaksanya? Allah-lah yang mengujinya dengan Bala. Jika ia tetap bertahan pada kebiasaan lamanya, keluarganya bisa menderita.
Hadits :
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Artinya :
“(Seseorang) dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR : Abu Daud, no. 1692; Ahmad, 2: 347. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Akhirnya, dengan terpaksa, ia harus meninggalkan rutinitasnya dan melakukan hal baru demi menghidupi keluarga. Inilah ujian yang memaksanya berubah. Ujian itu bisa datang dalam bentuk kehilangan orang-orang terdekat yang selama ini membantunya. Ia seakan diasingkan dalam rimba belantara bersama keluarganya.
Dalam keterasingan itu, Tuhan menguji kemampuannya untuk bertahan hidup (survival). Ia harus berburu, baik hewan jinak maupun buas, yang bahkan bisa membahayakan dirinya. Di tengah situasi baru ini, orang yang mampu menggunakan jauhar akal (daya analisis) dengan benar akan mendapat pelajaran berharga. Ia akan melihat skenario Tuhan dalam hidupnya.
Keimanan dan keyakinannya akan semakin kuat, meski sebelumnya mudah goyah. Inilah tujuan Allah menguatkan hamba-Nya melalui ujian (Bala). Penulis teringat pesan guru spiritualnya bahwa ujian keimanan “seseorang akan terus berlangsung, bahkan hingga ajal menjemput.”
Hadits :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
Artinya :
“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha (menerima ujian itu), maka baginya keridhaan (dari Allah). Dan barangsiapa yang murka (atas ujian itu), maka baginya kemurkaan (dari Allah).” (HR : Tirmidzi, no. 2396; Ibnu Majah, no. 4031. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Manusia diuji oleh Allah dengan berbagai cobaan, tanpa dimintai persetujuan terlebih dahulu. Ini adalah bentuk kekuasaan-Nya yang mutlak (Absolut). Ujian-ujian tersebut bukan tanpa makna. Setiap Bala yang datang memiliki tujuan tertentu, meski seringkali tidak mudah dipahami oleh akal manusia.
Bagi yang mampu melalui tahap ini dengan sabar dan tawakal, ia akan mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi. Keikhlasannya menjadi kunci penerimaan atas takdir. Sebaliknya, mereka yang menolak dan mengeluh hanya akan terpuruk dalam kegelisahan. Padahal, setiap ujian adalah bentuk kasih sayang Allah untuk mengangkat derajat hamba-Nya.
Proses ini mengajarkan bahwa kehidupan tidak selalu berjalan sesuai keinginan manusia. Ada saatnya Allah menghendaki perubahan drastis untuk kebaikan yang lebih besar. Ketika seseorang dipaksa keluar dari zona nyamannya, itu adalah tanda bahwa Allah ingin membukakan pintu hikmah baru baginya.
Hadits Qudsi :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Artinya :
“Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku melindunginya.” (HR : Bukhari, no. 6502)
Dalam kesendirian dan keterasingan, manusia belajar untuk sepenuhnya bergantung pada Allah. Ia menyadari bahwa hanya Dia-lah tempat meminta pertolongan. Melalui perenungan mendalam (tafakur), seseorang akan menemukan jawaban di balik setiap ujian. Ia pun semakin dekat dengan Sang Khaliq.
Allahu Akbar, segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya. Manusia hanya perlu bersabar, berikhtiar, dan percaya bahwa setiap ujian adalah jalan menuju kemuliaan.
Penulis; Tamrin.
















