Oleh : Chaidir Toweren
TRIBUNEIndonesia.com
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan pada dinamika yang tak jarang menimbulkan pertentangan antara hati, pikiran, dan perbuatan. Ada saat ketika hati berbisik tentang kebaikan, pikiran menimbang logika, tetapi perbuatan justru melangkah ke arah yang berlawanan. Inilah dilema klasik manusia, sebuah jurang yang muncul ketika integritas diri mulai goyah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam lingkup personal, melainkan juga tercermin dalam kehidupan sosial, politik, bahkan birokrasi. Seseorang bisa saja memiliki hati yang lembut, pikiran yang cerdas, tetapi perilaku nyatanya menyakiti orang lain, merugikan masyarakat, atau sekadar mempertontonkan kemunafikan.
Hati sering digambarkan sebagai pusat kejujuran, tempat bersemayamnya nilai moral dan nurani. Pikiran adalah ruang logika, kalkulasi, dan pertimbangan rasional. Sedangkan perbuatan merupakan representasi nyata dari apa yang diputuskan. Ketiganya idealnya berjalan selaras, hati mengarahkan pada kebaikan, pikiran menimbang jalan terbaik, dan perbuatan merealisasikannya.
Namun, manusia kerap terjebak dalam konflik internal. Ada yang hatinya menolak, pikirannya bimbang, tetapi perbuatannya tunduk pada tekanan. Contoh sederhana dapat dilihat ketika seorang wakil rakyat mengetahui bahwa menerima gratifikasi itu salah, hatinya menolak karena tidak sesuai dengan nilai perjuangan yang akan diperjuangkan, pikirannya memahami risikonya, tetapi tangannya tetap menerima amplop dengan alasan “terpaksa.” Di titik inilah hati, pikiran, dan perbuatan tak lagi sejalan. Sehingga melahirkan mis kepercayaan.
Ketidakselarasan itu semakin nyata dalam kehidupan sosial kita. Di ruang publik, banyak tokoh lantang berbicara soal moralitas dan keadilan. Namun, dalam praktiknya, mereka justru terjerat kasus korupsi, manipulasi data, atau perbuatan yang bertolak belakang dengan ucapannya sendiri. Kata-kata indah menjadi sekadar topeng untuk menutupi perilaku yang sesungguhnya.
Fenomena ini memperlihatkan betapa mudahnya manusia tergelincir ketika hati, pikiran, dan perbuatan berjalan di jalur masing-masing tanpa ikatan integritas. Ketidakseimbangan itu melahirkan krisis kepercayaan masyarakat tidak lagi percaya pada pemimpin, publik kehilangan harapan pada institusi, dan individu pun merasakan kegelisahan batin.
Ketika hati, pikiran, dan perbuatan tidak sejalan, dampaknya bukan hanya pada diri sendiri, melainkan juga pada kehidupan berbangsa. Politik yang seharusnya menjadi ruang pengabdian, justru berubah menjadi arena perebutan kepentingan pribadi. Hati mereka mungkin masih tahu bahwa rakyat butuh keadilan, pikiran mereka mungkin mampu menghitung solusi, tetapi perbuatannya lebih memilih keuntungan sesaat.
Inilah yang menjelaskan mengapa banyak kebijakan publik tidak berpihak kepada rakyat. Ketika penguasa lebih mendengar bisikan kepentingan dibanding suara nurani, perbuatan yang muncul hanyalah formalitas, bukan solusi. Akibatnya, jurang antara rakyat dan penguasa semakin melebar.
Sebuah pertanyaan muncul pentingnya bagaimana agar hati, pikiran, dan perbuatan bisa kembali sejalan? Jawaban sederhana, dengan membangun integritas. Integritas berarti menyatukan apa yang ada di dalam hati, dipikirkan dalam logika, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Integritas tidak lahir seketika. Ia dibangun melalui kebiasaan kecil: berkata jujur, bertindak sesuai kata hati, dan berani menolak yang salah meski dihadapkan pada risiko. Dalam kehidupan sehari-hari, integritas dapat dimulai dengan disiplin pada hal sederhana menepati janji, menghargai waktu, hingga menolak godaan sekecil apa pun.
Keselarasan juga menuntut keberanian. Hati bisa saja ingin berbuat baik, pikiran sudah menimbang risiko, tetapi tanpa keberanian, perbuatan akan berhenti pada wacana. Keberanian adalah jembatan yang menghubungkan nilai dengan tindakan.
Opini ini bukan sekadar ajakan moral, melainkan refleksi yang perlu kita jalani bersama. Dalam setiap keputusan besar maupun kecil mari kita bertanya, apakah hati kita setuju ? apakah pikiran kita logis ? dan apakah perbuatan kita sejalan dengan keduanya? Jika jawabannya tidak, maka itulah alarm bahwa ada yang salah dalam diri kita.
Bangsa ini membutuhkan manusia-manusia yang hatinya bersih, pikirannya jernih, dan perbuatannya lurus. Bukan mereka yang hanya pandai berkata, tetapi miskin teladan. Kita tidak perlu menunggu menjadi pejabat atau tokoh besar untuk memulai. Keselarasan bisa dimulai dari rumah, dari lingkungan kerja, hingga komunitas kecil kita.
Pada akhirnya, ketika hati, pikiran, dan perbuatan sejalan, kita bukan hanya membangun integritas diri, tetapi juga memperkuat pondasi kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, krisis kepercayaan akan pulih, dan bangsa ini akan lebih kuat menghadapi segala tantangan.