Penulis: Ilham Gondrong
TribuneIndonesia.com
Dalam sejarah peradaban manusia, kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh kekayaan alam, kekuatan militer, atau teknologi yang canggih. Lebih dari itu, fondasi utama dari kemajuan dan kekokohan sebuah negara terletak pada kualitas pemimpinnya. Seorang pemimpin yang bijaksana dan berdedikasi adalah jantung dari sebuah bangsa yang besar dan dihormati.
Pemimpin yang kuat tidaklah cukup hanya memiliki kekuasaan. Ia harus mampu menerjemahkan kekuasaan itu menjadi keberkahan bagi rakyatnya. Ia harus hadir sebagai pelindung, pengayom, dan pembimbing yang mampu menebar keadilan dan kesejahteraan. Rakyat tidak membutuhkan penguasa yang hanya hadir di panggung politik, tetapi yang hadir di hati rakyatnya. Penguasa yang disegani bukan karena ketakutan, melainkan karena keteladanan, ketegasan yang adil, serta kasih yang tulus terhadap seluruh anak bangsa.
Namun dalam perjalanan sejarah dunia, hanya segelintir pemimpin yang mampu menapaki jejak sebagai penguasa yang benar-benar bijaksana. Kita mengenal nama Raja Salomo dari Israel, yang disebut-sebut sebagai raja penuh hikmat, adil dalam pengambilan keputusan, serta mampu membangun bangsa dengan damai dan penuh keagungan. Sosok seperti Julius Caesar, Alexander Agung, Cleopatra, hingga Mahatma Gandhi juga tercatat sebagai tokoh yang memiliki daya kepemimpinan luar biasa yang mampu mengubah sejarah dunia. Mereka adalah simbol dari kepemimpinan yang tidak hanya berpikir tentang kekuasaan, tetapi juga tentang kemaslahatan umat manusia.
Mereka hadir bukan untuk menindas, melainkan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Mereka tidak hanya berpikir untuk masa jabatan, tetapi untuk masa depan bangsanya. Jiwa kepemimpinan mereka lahir dari kebijaksanaan, ketulusan, dan dedikasi yang tinggi terhadap rakyatnya.
Sayangnya, semakin ke sini, nilai-nilai luhur dalam kepemimpinan seperti itu mulai mengabur. Seiring dengan perubahan zaman dan pergeseran nilai, banyak pemimpin yang kehilangan arah dan tujuan kepemimpinannya. Kekuasaan tidak lagi menjadi amanah, tetapi menjadi alat pemuas ambisi pribadi dan kelompok. Yang terjadi adalah krisis moral, di mana penguasa tidak lagi memiliki empati terhadap penderitaan rakyat, tidak lagi peduli pada keadilan, dan kehilangan semangat untuk melayani.
Bangsa ini dan dunia secara umum kini rindu pada pemimpin yang mampu mengembalikan fitrahnya sebagai penguasa yang bijaksana dan berdedikasi. Pemimpin yang tidak hanya memimpin dengan akal dan strategi, tetapi juga dengan hati dan nurani. Pemimpin yang mampu menyatukan bangsa, merangkul semua golongan, dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa pandang bulu.
Seorang penguasa yang sejati harus memiliki kekuatan spiritual di dalam dirinya. Ia harus memiliki nilai-nilai moral yang kuat, rasa empati yang dalam, serta jiwa karismatik yang mampu menyentuh hati rakyatnya. Kekuasaan tanpa moral adalah bencana. Kekuasaan tanpa dedikasi adalah kehampaan. Dan kekuasaan tanpa kebijaksanaan adalah jalan menuju kehancuran.
Dalam beberapa dekade terakhir, kita melihat bagaimana banyak negara di dunia ini dilanda konflik, kehancuran ekonomi, dan disintegrasi sosial akibat dari kepemimpinan yang jauh dari nilai-nilai bijaksana. Ketika seorang pemimpin lebih sibuk membangun citra daripada membangun bangsa, maka saat itulah tanda-tanda kemerosotan dimulai. Ketika keputusan lebih didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek, ketimbang kepentingan rakyat jangka panjang, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bebas dari masalah, tetapi bangsa yang memiliki pemimpin yang mampu mengatasi masalah dengan kebijaksanaan, kesabaran, dan keteguhan hati. Pemimpin yang tidak lari dari kesulitan, tetapi justru hadir di tengah badai untuk menenangkan, menuntun, dan mengarahkan.
Sudah saatnya para pemimpin hari ini baik di tingkat lokal, nasional, maupun global melakukan refleksi mendalam. Tanyakan kembali kepada diri sendiri: untuk apa kekuasaan ini diberikan? Apakah hanya untuk memuaskan ego pribadi? Ataukah untuk memberikan perubahan nyata bagi kehidupan rakyat?
Kembalilah menjadi penguasa yang bijaksana. Jadilah pemimpin yang tak hanya pandai berkata, tetapi juga pandai mendengar. Jangan lupakan suara rakyat kecil, suara mereka yang hidup di pinggiran, yang kerap tidak terdengar dalam ruang-ruang rapat elite. Karena di sanalah sesungguhnya jiwa bangsa ini bersemayam.
Jadilah pemimpin yang berdedikasi. Dedikasi artinya mengabdi sepenuh hati. Bekerja bukan hanya karena jabatan, tetapi karena tanggung jawab moral dan cinta kepada tanah air. Pemimpin yang berdedikasi tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan rakyat. Ia akan berjuang hingga titik darah penghabisan demi tegaknya keadilan, kemakmuran, dan martabat bangsa.
Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar. Tetapi kita butuh lebih banyak orang bijaksana. Tidak kekurangan pejabat, tetapi kita kekurangan pemimpin sejati. Tidak kekurangan janji, tetapi sangat kekurangan bukti.
Oleh karena itu, mari kita bangun kembali harapan itu. Mari kita dorong lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang membawa semangat kebijaksanaan dan dedikasi sejati. Pemimpin yang mampu menyembuhkan luka-luka bangsa, menghapus air mata rakyat, dan membawa senyum harapan bagi generasi mendatang.
Bukan sekadar pemimpin yang kuat dalam pidato, tetapi pemimpin yang kuat dalam tindakan. Bukan sekadar penguasa yang terkenal, tetapi penguasa yang meninggalkan jejak kebaikan yang abadi.
Rakyat menanti, bangsa berharap. Dan sejarah akan mencatat, siapa yang memilih menjadi penguasa yang bijaksana, dan siapa yang memilih sekadar berkuasa.
Ilham TribuneIndonesia.com